Secercah Asa untuk Anak-anak di Pulau Madura
Berkat keterlibatan “emak-emak”, program imunisasi di Madura toreh sejarah baru

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Menjelang September di Madura, dedaunan mulai berguguran, rerumputan mengering dan debu-debu beterbangan dibawa angin. Kondisi tanah yang gersang serta curah hujan yang sedikit membuat panas terasa kian menyengat. Karenanya, banyak yang berpandangan musim kemarau selalu datang lebih awal dan pergi paling akhir di Madura.
Di tengah cuaca yang tidak bersahabat itu, Alfiatun, perempuan paruh baya, nampak tengah menyampaikan pesan-pesan keagamaan kekinian terkait pengasuhan dalam perspektif Islam serta pentingnya imunisasi bagi anak-anak saat memimpin kajian mingguan. Suaranya yang lembut serta penampilannya yang dibalut baju dan kerudung hijau terasa sejuk di mata para jamaah.

“Imunisasi itu baik, menyehatkan dan menyelamatkan anak-anak kita!” ucap ibu empat anak itu lantang penuh percaya diri kepada puluhan keluarga yang hadir.
“Emak-emak” adalah kunci.
Sejak Agustus, Alfiatun secara rutin mengalokasikan dua puluh hingga tiga puluh menit terakhir waktu kajian mingguan yang dia pimpin untuk berbagi informasi mengenai imunisasi. Ini ia lakukan setelah UNICEF dan Dinas Kesehatan setempat menyambaginya menjelang Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Sebagai kader kesehatan dan pimpinan Muslimat NU–organisasi perempuan Nahdlatul Ulama (NU)—di Kalianget, Sumenep dia memahami rendahnya imunisasi di Madura – termasuk kabupaten ia berasal – dan merasa berkewajiban untuk mengajarkan masyarakat mengenai masalah itu.
Selama puluhan tahun, Pulau Madura selalu menjadi kawasan penyumbang daftar capaian imunisasi terendah di Provinsi Jawa Timur, bahkan Indonesia. Dari Maret 2005 hingga April 2006, provinsi itu mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) dimana 45 dari 46 kasus keseluruhan berasal dari Madura. Puncaknya, imunisasi berada di titik nadir ketika pandemi COVID-19 varian delta menghantam.
Sumenep merupakan satu-satunya kabupaten berstatus kepulauan di Madura, bahkan Jawa Timur yang terdiri dari 125 pulau yang terpisah antara satu hingga dua puluh jam perjalanan dengan kapal. Meski kondisi geografis mempersulit capaian imunisasi selama BIAN, tantangan terbesar justru berasal dari besarnya gelombak hoaks yang beredar di media sosial dan menyebar di antara ibu-ibu saat arisan ataupun kegiatan berkumpul lainnya, yang berujung pada banyaknya masyarakat yang enggan mengimunisasi anak-anaknya.
“Di Sumenep, masyarakat lebih takut vaksin daripada COVID itu sendiri,” ungkap Nia Kurnia Fauzi, Ketua Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sekaligus istri Bupati Sumenep. “Dampaknya, banyak masyarakat yang tidak mau mengimunisasi anak-anaknya karena takut ini adalah vaksinasi COVID.”

Atas dasar itu, jauh bulan sebelum BIAN, UNICEF secara aktif mengajak pemerintah daerah untuk menjalin kerjasama lintas sektoral dan menyasar perkumpulan emak-emak seperti kelompok arisan dan majelis taklim tempat mereka berkumpul.
“Kami menyasar emak-emak karena merekalah yang dekat dengan anak-anak mereka,” ujar Hendrix Prasetyo, Administrator Kesehatan Seksi Surveilans dan Imunisasi. “Kami paham bahwa gossip – termasuk hoaks – dapat dengan mudah berseliweran di antara mereka, karenanya kami menggandeng mereka untuk melawan (hoaks).
GRIDU: Memecah bongkahan es.
Alfiatun tidaklah sendiri – ada sedikitnya lima ribu emak-emak seperti dia di Sumenep yang terlibat mengadvokasi imunisasi anak selama BIAN yang tergabung dalam inisatif Grebek Imunisasi Terpadu (GRIDU).
“Gridu ini diambil dari bahasa Madura yang berarti gaduh dan riuh,” ujar Nia Kurnia Fauzi. “Ini merepresentasikan gerakan kami yang sistematis, sinergis dan terpadu dimana himbauan tidak hanya kami adakan di puskesmas, posyandu, tapi juga kumpulan dan pengajian masyarakat dan meminta tokoh masyarakat agar mendorong imunisasi.”
Kerjasama ini melibatkan seluruh komponen dalam pemerintah itu sendiri seperti PKK yang bertindak sebagai penggerak kaum ibu-ibu, camat, kepala desa, Kepolisian serta Militer yang bertindak sebagai pengaman yang dapat menindak tegas penyebar hoaks demi kesuksesan program.
Selain itu, organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, Aisiyah Muhammamadiyah, Fatayat dan Muslimat NU, serta organisasi massa lainnya dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa juga dilibatkan guna mempomosikan imunisasi, mencegah hoax dan mengajak emak-emak untuk mengimunisasi anak-anaknya serta mendorong capaian imunisasi optimal di Sumenep.
Hasilnya, Sumenep sukses tampil sebagai salah satu kabupaten dengan capaian imunisasi tertinggi di Jawa Timur. Pada 2 Oktober 2022, capaian Imunisasi di Sumenep, Madura sudah mencapai 98,33 persen terdiri dari 55.090 anak untuk MR dibandingkan periode sebelumnya yang hanya 31.8 persen.

“Tonggak pencapaian ini terwujud karena kuatnya kerjasama antarsektor,” jelas Dewi Khalifah, Wakil Bupati Sumenep di depan Masjid Jamik Sumenep.
“Kami berharap para kader, tokoh masyarakat dan khususnya emak-emak yang memiliki anak bukan saja tergerak untuk mengimunisasi anak-anaknya, melainkan juga menjadi penggerak imunisasi di lingkungan mereka di masa mendatang.”
Ingin membantu lebih banyak anak-anak memperoleh imunisasi rutin?
Berkat bantuan dari para dermawan di Indonesia dan kerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat beserta aparatur setempat, UNICEF dapat memastikan imunisasi rutin terus berlanjut. Sebanyak 67 juta anak di dunia tidak menerima satu pun vaksin rutin selama pandemi. Oleh karena itu, UNICEF terus bergerak untuk memastikan anak terlindungi dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti kisah di atas.
Meski demikian, pekerjaan ini akan terus berlanjut dan masih ada daerah lain yang perlu dukungan kita agar lebih banyak anak-anak #KembaliKebal dengan memperoleh layanan imunisasi rutin sesuai dengan jadwal dan dosis yang dianjurkan.
Jika Anda ingin membantu agar program imunisasi rutin anak di daerah lain di Indonesia dapat berkembang seperti ini, Anda bisa berdonasi ke UNICEF. Kami akan sangat menghargainya.