Dia adalah pasien COVID-19 pertama di Nusa Tenggara Timur. Sekarang dia menjadi pejuang imunisasi.
Setelah dinyatakan positif COVID-19, seorang ayah di Kupang menemukan semangatnya dan bertekad untuk memastikan anak-anaknya tetap sehat

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
KUPANG, Indonesia – Saat El-Asamau tiba di Puskesmas Bakunase pada Juli lalu untuk vaksin anak bungsunya, ia disambut dengan senyum hangat. Sudah beberapa minggu sejak terakhir kali ia dirawat di Puskesmas Kota Kupang, para staf terlihat senang karena ia dan keluarganya dalam keadaan sehat. Suasana terasa lebih santai dan jauh berbeda dari saat mereka terakhir melihatnya.
El-Asamau adalah pegawai negeri sipil di Dinas Perhubungan di Alor. Pada bulan April, dia menjadi orang pertama di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dinyatakan positif COVID-19 setelah melakukan perjalanan dinas ke Jakarta. Ketika kembali ke Kupang, dia mengetahui bahwa seorang rekan seperjalanannya meninggal dunia karena COVID-19.
Meski El-Asamau tidak menunjukkan gejala apapun, ia diharuskan menjalani karantina di rumah sakit. Sebagai pasien COVID-19 pertama dan satu-satunya saat itu, dia dipindahkan ke sebuah ruangan yang baru saja disiapkan. Saat dia masuk, aroma cat baru dari dinding putih menyambutnya. Setelah beberapa hari sendirian di ruang isolasi, kesendirian tersebut mulai memengaruhi dirinya.

“Hari pertama saya merasa baik-baik saja, tetapi pada hari kedua dan ketiga, saya mulai merasa tertekan,” katanya. “Saya tidak nafsu makan, saya bahkan menangis. Beberapa orang di online menyebut saya pembawa virus, dan saya merasa tidak berarti.”
Meskipun keluarganya dinyatakan negatif, mereka juga mengalami stigma terkait dengan penyakit tersebut. Pada masa awal pandemi, informasi yang salah dan ketakutan akan virus merajalela. Banyak yang tidak memahami virus atau bagaimana penyebarannya, sehingga pasien dan petugas kesehatan dijauhi oleh masyarakat.
“Orang tidak mau datang ke rumah mertua saya di Kupang,” kenang El-Asamau. “Di Alor bahkan ada himbauan untuk tidak mendekati rumah kami.”
Tetapi seiring berlalunya waktu, dia mulai merenungkan hal-hal yang penting baginya. Dia terus memikirkan putra bungsunya, Albirant, atau Al sebagaimana mereka memanggilnya. Sejak terinfeksi COVID-19, dia ingat bahwa Al sudah waktunya menerima vaksin. Di luar pekerjaannya, El-Asamau adalah seorang aktivis dan menyuarakan dukungan terhadap pendidikan dan hak-hak anak di media sosial.

“Saya dan istri saya yakin imunisasi adalah hak anak-anak, dan kami tidak ingin merampasnya dari mereka.”
“Saya dan istri saya yakin imunisasi adalah hak anak-anak, dan kami tidak ingin merampasnya dari mereka,” jelasnya. “Kami juga melihat ketika orang tidak divaksin, mereka menjadi rentan terhadap penyakit. Kami tidak menginginkan hal itu terjadi pada anak kami.”
Berkat dukungan keluarga, teman dan tenaga kesehatan, El-Asamau menemukan semangatnya. Setelah 17 hari di karantina, dia dinyatakan negatif COVID dan boleh keluar dari rumah sakit. El-Asamau kembali berkumpul bersama keluarganya yang menjalani isolasi mandiri di rumah.
Beberapa minggu kemudian, dia dan istrinya memutuskan untuk membawa Al ke Puskesmas untuk divaksin. Ketika dia melihat putranya disuntik di lengan, dia merasa tenang karena mengetahui anaknya akan terlindungi dari penyakit mematikan. Sementara banyak orang tua dan pengasuh di Indonesia masih ragu-ragu untuk mengimunisasi anak-anak mereka selama pandemi, El-Asamau menyampaikan pesan yang sederhana namun sangat meyakinkan.
“Jangan rampas hak anak-anak kita. Pikirkan tentang apa yang bisa terjadi jika mereka tidak diimunisasi. Petugas kesehatan sudah memiliki protokol, jadi tidak perlu khawatir untuk membawa anak kita ke Puskesmas bahkan selama pandemi.”