Bertahan melewati gempa bumi dan tsunami melalui dukungan untuk ibu menyusui

Prioritas utama bagi UNICEF dalam keadaan pascabencana adalah mencegah kematian dan malnutrisi, khususnya di kelompok paling rentan: bayi, anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Lely Djuhari
Ibu-ibu menyusui di Sigi
Wilander/UNICEF/2018
22 Mei 2019

Nela Anggraini menarik napas dalam-dalam kemudian meletakkan telapak tangan pada dahi temannya. Sambil menyimak instruksi dari pelatih bersuara lembut, Nela melanjutkan gerakan dengan memijat perlahan bagian wajah, leher, dan pundak yang segera terlihat lebih santai.

Para bayi dan balita bermain tenang di kaki ibu-ibu mereka yang tengah mengikuti Kelas Ibu untuk penyintas bencana gempa dan tsunami di kampung halaman mereka di Sigi, Sulawesi Tengah, pada 28 September.

Pascabencana, prioritas utama UNICEF adalah mencegah kematian dan malnutrisi khususnya di kalangan kelompok paling rentan: bayi, anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Pengalaman bencana dapat berdampak besar terhadap kondisi fisik dan psikologis ibu, dan akibatnya menghambat produksi ASI. Dalam keadaan demikian, sangat mungkin ibu akan mencoba cara lain untuk memberi makan pada bayi. Dengan dukungan emosional dan teknis yang memadai, seharusnya semua ibu dapat terus memberikan ASI—termasuk dalam situasi darurat.

Di Sigi, dukungan tidak dimulai dengan presentasi rumit mengenai pentingnya ASI dan gizi, tetapi dengan sesi “mendengar secara aktif”. Didukung UNICEF, tim yang terdiri dari tujuh konselor laktasi dan gizi bertanya terlebih dahulu mengenai kabar peserta dan bagaimana mereka ingin disapa. “Mama,” jawab mereka, dan bukan ‘ibu’.

Saat ditanya dukungan apa yang dibutuhkan, jawaban mereka sama tegasnya.

“Anak-anak dapat bantuan (psikososial) setelah kembali ke sekolah. Kalau kami bagaimana?” tanya Nela.

Beranjak dari pertanyaan itu, berlangsunglah sesi psikososial selama satu jam untuk para ibu, termasuk diskusi mengenai apakah dapur umum di tenda mereka sudah memperhitungkan kebutuhan gizi bayi dan anak. Jawabannya: belum. Namun, para ibu bersemangat mengubah keadaan itu. Mereka juga bicara mengenai privasi dan ketersediaan ruang di tenda-tenda pengungsian.

Dirancang sebagai pelatihan kecil, terdapat hanya delapan hingga 15 orang dalam satu kelompok pelatihan. Kelas ini adalah bagian dari program dukungan UNICEF kepada Kementerian Kesehatan dalam menyusun rencana gizi dalam kegiatan tanggap bencana di Sulawesi Tengah. Kegiatan lain meliputi mobilisasi kader kesehatan dan dukungan dari para ayah, serta pelatihan untuk mereka yang akan melatih konselor pemberian makan untuk bayi dan anak usia muda.

Di Sulawesi Tengah, tingkat pemberian ASI sekitar 40 persen adalah rendah dibandingkan rata-rata nasional pada 51.5 persen. Sebagian ibu mengatakan waktu mereka sudah tersita untuk bekerja, sementara sebagian lain menyatakan terbujuk iklan yang menjanjikan anak tumbuh lebih pintar dan sehat dengan susu formula.

Wiyarnani Pambudi, dokter anak dan salah satu tokoh organisasi mitra UNICEF Indonesia, Selasi (Sentra Laktasi Indonesia) dan AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia), berkata: “Dalam situasi darurat, ASI adalah sumber makanan paling aman, bergizi, dan andal bagi bayi berusia di bawah 6 bulan.”

Memang, faktanya, ASI selalu berada pada suhu yang tepat, tidak butuh persiapan, dan bisa diberikan bahkan dalam situasi tanpa akses ke air bersih dan kondisi kebersihan yang layak. ASI memberikan semua manfaat ini untuk bayi termasuk dalam masa 6 hingga 23 bulan, ketika anak mulai mendapatkan makanan padat pertamanya. ASI mengandung antibodi dan zat lain yang melindungi anak dari infeksi mematikan di mana pun anak berada. Efek perlindungan terhadap nyawa ini secara khusus penting dalam konteks kedaruratan, ketika akses air bersih dan kebersihan—dua hal yang diperlukan jika ingin menyajikan susu formula—sering kali terganggu sehingga meningkatkan risiko diare dan penyakit lain.

Dalam situasi darurat, ASI adalah sumber makanan paling aman, bergizi, dan andal bagi bayi berusia di bawah 6 bulan.

Terkait pemberian ASI, situasi di Sulawesi tidak jauh berbeda dari situasi darurat di tempat lain. Di tempat-tempat pengungsian, ibu-ibu yang putus asa melaporkan memberi bayi mereka air gula pada masa awal setelah bencana. Setelah sepekan, donasi susu formula mulai berdatangan; dikirim karena kepentingan komersial, tetapi juga karena masih banyak orang yang tak sadar risiko diare. Sebagaimana terjadi di semua situasi darurat, angka diare di tenda-tenda pengungsi di Sulawesi naik.

Menurut panduan global, pengganti ASI untuk tanggap bencana harus diadakan hanya dengan cara dibeli dan distribusinya diatur dengan cermat. Promosi susu formula pun dilarang. Dengan dukungan UNICEF, Kementerian Kesehatan menerbitkan surat edaran yang mengatur donasi susu pengganti ASI dan penggunaan susu formula dalam situasi darurat. Surat edaran bertujuan mencegah sumbangan susu formula yang tidak terkendali dan penggunaannya untuk ibu yang tidak memberi ASI. UNICEF juga mendukung Kementerian Kesehatan untuk mengintegrasikan layanan kesehatan anak termasuk rencana untuk mengatasi malnutrisi akut di kalangan anak ke dalam rencana penanganan gizi saat bencana.

Nela, tim konselor, dan tenaga kesehatan menghadapi tantangan besar. Namun, mereka tidak gentar.

Nela, yang bekerja sebagai guru SMA, berkata ia tidak memberikan ASI pada anak pertamanya yang sekarang berusia enam tahun. Namun, melihat sang anak yang mudah sakit, Nela pun memutuskan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pada anak kedua. Anak keduanya telah berusia satu tahun dan menurut Nela ia ingin meneruskan pemberian ASI hingga anak itu berusia dua tahun.

“Kelas ini bagus sekali. Kami sangat memerlukannya,” katanya. “Saya melihat sendiri manfaat ASI pada anak-anak saya, dan ingin belajar lebih jauh agar bisa meyakinkan orang lain. Saya sudah diminta mengumpulkan sukarelawan untuk menyiapkan makanan bergizi untuk anak-anak kami. Saya sudah tak sabar ingin menjadi sukarelawan.”