Menstruasi di Tengah Masa Darurat
UNICEF bekerja sama erat dengan Pemerintah Indonesia dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia untuk memperluas intervensi Air, Sanitasi, dan Kebersihan (WASH) pascagempa bumi di Lombok, Indonesia
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Saat gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 menghantam Pulau Lombok, Kadek Ariasti Widhiari, 14, sedang mengalami menstruasi. Dalam bulan-bulan yang ia gambarkan sebagai masa tersulit di dalam kehidupannya, ia dan keluarga terpaksa meninggalkan rumah mereka dan menghuni tenda pengungsian.
“Sementara itu, saya juga tidak nyaman karena sedang datang bulan,” katanya. “Rasanya takut, tidak berdaya, dan kesakitan.”
Kadek menyampaikan pengalaman itu di hadapan diskusi kelompok yang diadakan di sekolahnya. Diskusi itu adalah bagian dari inisiatif UNICEF untuk memberdayakan remaja perempuan dan lelaki dengan pengetahuan tentang manajemen kebersihan menstruasi (MKM) dan pubertas.
“Di tenda, gak ada pembalut,” Kadek melanjutkan kisahnya. “Dan waktu itu, setelah gempa, gak ada toko yang buka.”
Namun, kepada peserta diskusi, ia berkata ia tidak menyerah begitu saja. Ia pun menyobek popok adiknya yang masih bayi dan menggunakannya sebagai pengganti pembalut.
Banyak remaja putri lain di kelompok itu yang memiliki kisah serupa. Salah satu dari mereka bercerita, ibunya mengajarkan cara menggunakan pembalut kain, praktik yang sudah bertahun-tahun tidak ada di Lombok.
Seorang anak lain menceritakan dilema saat harus membersihkan pembalutnya yang bernoda menggunakan air minum yang berharga, karena air keran tak tersedia. Di Indonesia, praktik mencuci pembalut—sebelum membungkus dan membuangnya—lazim dilakukan dan merupakan simbol penghormatan.
Tabu dan takhayul
Menurut Stefani Rahardini, fasilitator UNICEF yang memimpin diskusi, sebagian besar peserta memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang menstruasi. Namun, masih ada kebiasaan dan keyakinan yang menghalangi partisipasi mereka di sekolah.
“Orang tua masih berat untuk merelakan anak-anak kembali ke sekolah, takut akan ada gempa susulan,” katanya. “Tapi, siklus menstruasi adalah sesuatu yang alamiah dan terjadi setiap bulan, serta tidak seharusnya menjadi alasan anak tidak pergi ke sekolah.”
Di kelompok diskusi lain, guru-guru perempuan berbagi kisah tentang pengetahuan menstruasi mereka sendiri dan cara-cara yang mereka lakukan untuk membantu murid perempuan mengatasi kecemasan karena mengalami menstruasi.
Sayangnya, kelompok-kelompok diskusi seperti di atas masih langka. Hanya segelintir sekolah di seluruh Indonesia yang bersedia membuka percakapan dengan murid perempuan tentang hal-hal terkait tubuh mereka. Menstruasi masih dianggap topik yang sensitif, diwarnai tabu dan takhayul.
Keengganan tersebut tercermin dari minimnya ketersediaan pembalut di sekolah untuk diakses murid perempuan. Sebagian sekolah memiliki warung yang menjual pembalut sekali pakai, tetapi sangat sedikit yang dilengkapi tempat sampah tertutup sebagai wadah pembuangan.
Memperluas ketersediaan fasilitas ‘WASH’ di sekolah-sekolah terdampak gempa bumi
Pasca gempa bumi, UNICEF—bekerja sama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)—melaksanakan serangkaian kegiatan tanggap bencana.
Bagian penting dari upaya tersebut adalah penyediaan prasarana seperti toilet sementara, tempat sampah, dan perlengkapan kebersihan diri—sabun, handuk, dan pakaian dalam—untuk keluarga-keluarga terdampak. Keluarga dan kelompok rentan juga sudah menerima sedikit bantuan tunai dari dana darurat agar remaja putri seperti Kadek dapat membeli pakaian dalam dan pembalut pilihannya.
Membantu remaja putri merasa nyaman dengan siklusnya
Elemen penting lain dari upaya tanggap bencana yang dipimpin UNICEF adalah edukasi publik tentang kebersihan menstruasi. Dengan melibatkan sekolah, puskesmas, dinas kesehatan, dan sukarelawan dari kalangan warga, anak-anak perempuan didorong untuk kembali ke sekolah dan diyakinkan bahwa mereka bisa merasa nyaman dengan diri dan tubuhnya.
Perundungan dan kurangnya keterbukaan
Menurut Stefani, salah satu hambatan terbesar dalam proses membangun kesadaran adalah kurangnya keterbukaan antara murid perempuan dan guru perempuan. “Murid perempuan tidak mudah bercerita tentang menstruasinya ke guru perempuan, apalagi guru laki-laki,” katanya. “Masalahnya, banyak guru perempuan yang bahkan tidak sadar murid-muridnya punya kesulitan terkait menstruasi.”
Bagi murid-murid itu, salah satu bentuk kesulitan yang harus mereka hadapi adalah perundungan oleh murid lelaki, sebagaimana dialami Kadek.
“Kadang-kadang anak laki-laki menggeledah tas sekolah saya. Kalau ketemu pembalut, pembalutnya diambil dan diperlihatkan ke seluruh kelas, lalu saya diejek.”
Jelas bahwa untuk meningkatkan pemahaman dan praktik tentang kebersihan menstruasi, kegiatan edukasi tidak bisa terbatas pada remaja perempuan dan teman, guru, atau anggota keluarga lain sesama perempuan. Peningkatan kesadaran pun harus ditujukan kepada lelaki—seperti ayah, adik atau kakak, dan teman—dan dilakukan secara jangka panjang serta komprehensif.
Ingin Membantu Remaja Perempuan Mengakses Sarana Air, Sanitasi, dan Kebersihan Kapan Pun, di Mana Pun?
Berkat sumbangan dari para dermawan di Indonesia, UNICEF dapat bekerja dengan tenaga dan pejabat bidang Air, Sanitasi, dan Kebersihan (WASH) di seluruh Indonesia untuk kebutuhan keluarga dan anak-anak perempuan di masa darurat, seperti pascabencana alam.
Namun demikian, pemahaman dan praktik yang baik dari manajemen kesehatan menstruasi bergantung pada keberhasilan membangun kesadaran anak perempuan, anak lelaki, orang tua, guru, dan pemuka masyarakat. Hal ini tak dapat dicapai dalam semalam. Dibutuhkan perbaikan yang terus menerus terhadap prasarana, layanan, dan edukasi budaya secara inklusif. Untuk itu, kami membutuhkan dukungan Anda.
Agar ada lebih banyak anak perempuan seperti Kadek yang merasa nyaman dengan diri dan tubuhnya, dan kesadaran secara umum tentang menstruasi sebagai siklus alamiah menjadi lebih baik, silakan berdonasi ke UNICEF. Kami akan sangat menghargainya.