Menciptakan sekolah untuk semua anak

Sekolah-sekolah di Bone bertindak untuk memastikan setiap murid dapat berpartisipasi.

Jimmy Kruglinski, Communications Officer
Setelah mengikuti pelatihan tentang pendidikan inklusif, guru Aulia, Pak Anzar (tengah), membuat alat agar Aulia bisa ikut bermain kasti dengan teman-teman sekelas.
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
21 Oktober 2019

BONE, Indonesia – Pukul delapan pagi pada hari Rabu yang cerah, murid-murid kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Ulum di Bone, Indonesia, bersiap mengikuti permainan kasti. Mereka keluar dari kelas menuju lapangan di tengah sekolah dan membentuk dua barisan.

Guru mereka, Pak Anzar, berjalan di belakang murid-murid lain sambil membopong Aulia. Dengan hati-hati, ia mendudukkan Aulia di bangku depan, sementara anak-anak lain memulai pemanasan. Aulia terlahir dengan kondisi bawaan yang membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah. Guru-gurulah yang membantunya berpindah-pindah tempat di sekolah. Mereka juga memastikan Aulia selalu duduk di dekat pintu kelas. Di luar, ibunya yang bernama Dar menunggui Aulia.

Guru-guru Aulia membantunya berpindah-pindah tempat di sekolah.
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
Guru-guru Aulia membantunya berpindah-pindah tempat di sekolah.

Setelah selesai melakukan pemanasan, para murid dibagi menjadi dua tim. Masing-masing tim mengambil tempat di salah satu sisi lapangan. Anak-anak mengambil bola kasti dan bersiap bermain. Pak Aznar sendiri menyiapkan sebuah alat yang ia letakkan di hadapan Aulia. Alat itu adalah silinder yang berbaring dalam posisi diagonal di atas dua sanggahan terbuat dari kayu. Dalam suatu pelatihan tentang pendidikan inklusif, Pak Anzar belajar cara melibatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah, terutama dalam kegiatan olah raga. Terinspirasi oleh pelatihan itu, ia pun membuat alat khusus dan mengubah peraturan kasti agar Aulia bisa ikut bermain.

“Saya ingin Aulia bisa ikut terlibat,” kata Pak Anzar, lalu menunjukkan salah satu bola yang sudah disesuaikan dan ia buat bersama dengan para murid. “Sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menjangkau semua murid.”

Saat Pak Anzar menyerahkan bola kepada Aulia, anak-anak dari kelas lain mengintip dari jendela mereka dan menonton kegiatan di lapangan. Sebuah spanduk bertuliskan “Menuju Sekolah Inklusi” dan berhias gambar bunga dan kutipan berbahasa Arab dipasang pada dinding beton bercat hijau dan kuning.

“Saya ingin Aulia bisa ikut terlibat,” kata guru Aulia, Pak Anzar. “Sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menjangkau semua murid.”

Aulia memasukkan bola ke dalam silinder dan menatap lekat-lekat saat bola meluncur turun, lantas keluar dari sisi satunya. Bolanya beradu dengan bola lain yang diletakkan di tengah-tengah lapangan. Segera saja terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan dari murid lain, sementara Aulia tersenyum tipis, namun bangga. Dar yang menonton bersama para ibu lain ikut tersenyum.

“Tanpa [alat] itu, Aulia pasti murung duduk sendirian,” katanya. “Ia kini bisa ikut bermain dengan teman-temannya dan merasa punya peran.”

Guru-guru di sekolah ikut dalam dua pelatihan dari mitra 1in11 agar dapat lebih melibatkan anak-anak difabel dalam kegiatan sekolah.
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
Guru-guru di sekolah ikut dalam dua pelatihan dari mitra 1in11 agar dapat lebih melibatkan anak-anak difabel dalam kegiatan sekolah.

Tekad dan Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Setelah sekolah, di rumah, Aulia duduk di ruang keluarga bersama Annisa, kakak sepupunya, dan teman-teman sekolah. Mereka mengerjakan PR bahasa Arab. Tidak terlihat ada penyesuaian pada bangunan fisik rumah, meskipun Aulia mengalami disabilitas.

Menurut ibunya, sejak kecil Aulia selalu bertekad untuk bisa mandiri. “Ia tidak mau diberikan pegangan di rumah,” Dar mengenang. “Ia hanya mau merangkak.”

Tekad itu juga yang membuat Dar ingin Aulia bersekolah di MI Nurul Ulum, dan bukan sekolah luar biasa. “Di sekolah ini, ia bisa memotivasi diri. Bagus untuk semangatnya,” jelas Dar. Bagi Aulia, itulah kesempatannya bersekolah setiap hari dengan teman-teman di sekitar rumah yang sudah dikenalnya sejak kecil. “Saya suka belajar di sini dan bermain dengan sahabat saya, Fatiah dan Haila,” katanya.

Aulia biasanya menghabiskan sore hari bersama keluarga dan teman, menonton TV dan mengerjakan PR.
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
Setelah sekolah, Aulia biasanya menghabiskan sore hari bersama keluarga dan teman, menonton TV dan mengerjakan PR.

Sebelum tahun 2015, MI Nurul Ulum tidak menerima murid berkebutuhan khusus. “Kami selalu merujuk mereka ke sekolah luar biasa,” kata Ibu Narwah, kepala sekolah.

Walaupun belum lama ini membuka pintu untuk menjadi lebih inklusif, MI Nurul Ulum sudah memiliki 10 anak dengan disabilitas fisik dan mental. Guru-guru sudah menerima dua pelatihan terpisah mengenai pendidikan inklusif yang dipimpin oleh para mitra kampanye 1in11. Kedua pelatihan, menurut Ibu Narwah, membantu mereka lebih memahami pendidikan inklusif dan cara melibatkan semua anak dalam kegiatan di sekolah.

Ibu Narwah mencatat kemajuan signifikan dari murid-murid barunya, termasuk Aulia, yang kian bersemangat dan percaya diri. Dalam lomba MTQ yang diadakan tahun lalu di sekolah, misalnya, Aulia meraih juara kedua.

Ibu Narwah berkomitmen menjadikan sekolahnya tempat yang inklusif. Ia berencana menggunakan sebagian anggaran sekolah untuk membuat jalan akses dan memasang palang bantu di kamar mandi.

Bagi Dar, pendidikan Aulia adalah salah satu prioritas teratas. Di atas pintu ruang tamu, terdapat foto Aulia saat kelulusan TK bersama keluarga dan guru-guru. Di salah satu dinding rumah, berjajar tas-tas ransel yang pernah dikenakan Aulia—yang disimpan Dar setiap kali Aulia naik kelas.

Dar dan Aulia di rumah
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
Dar dan Aulia di rumah. Dengan bersekolah, Dar berharap Aulia dapat meraih kehidupan yang lebih baik.

“Saya tidak mau Aulia di rumah saja. Saya mau ia jadi pintar,” kata sang ibu sambil menyeka air mata yang mulai menggenang. “Harapan saya, Aulia bisa menjadi anak yang bermanfaat untuk keluarga dan punya kehidupan yang lebih baik daripada kami.”

Seperti anak lain seusianya, cita-cita Aulia masih berubah-ubah. Namun, jawabannya hari ini tegas. “Saya mau jadi dokter,” katanya.

“Saya tidak mau Aulia di rumah saja. Saya mau ia jadi pintar,” kata ibu Aulia, Dar. “Harapan saya, Aulia bisa menjadi anak yang bermanfaat untuk keluarga dan punya kehidupan yang lebih baik daripada kami."

Pak Akmal, pengawas sekolah, telah memberikan pelatihan pendidikan inklusif kepada guru-guru di sekolah Aulia dan guru-guru lain dari 22 sekolah dasar di Bone. Ia percaya setiap anak seharusnya bisa bersekolah bersama teman-teman mereka. “Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan,” katanya. “Mereka harus bisa bersosialisasi dengan anak lain.”

Pak Akmal juga menyimpan motivasi pribadi untuk membuat sekolah-sekolah di kabupatennya inklusif. “Keponakan saya, tujuh tahun, memiliki disabilitas wicara. Ia senang saat bisa bersekolah,” katanya. “Semua anak punya mimpi yang bisa diwujudkan melalui pendidikan.”

Aulia di rumah
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
Dar berkata cita-cita Aulia sering berubah, tetapi Aulia berkata ia ingin menjadi dokter.