Fokus pada Realitas Pedesaan – Seruan Perubahan Iklim dari Ambon ke Mesir
Sebuah op-ed dari Engel Laisina, Mitra Muda UNICEF Indonesia

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Ambon, 17 November 2022 - Minggu ini, saya ingin mengangkat suara saya melintasi lautan. Saya ingin mengirim pesan yang tidak pernah terasa lebih mendesak dari sekarang. Saya ingin kekhawatiran saya tentang pulau kecil tempat saya dibesarkan di Ambon didengar oleh mereka yang membuat janji besar pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Mesir.
Sebagian besar masyarakat di kepulauan Maluku menggantungkan mata pencaharian mereka pada pertanian dan perikanan. Hidup kami bergantung pada alam. Bagi kami, ancaman lingkungan bukanlah kenyataan yang jauh – mereka adalah bahaya yang selalu ada dan sangat besar.
Masyarakat di kampung halaman saya menghadapi tantangan berat akibat naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem, pengelolaan sampah yang buruk, dan kerusakan di kawasan pesisir. Warga tidak merasa aman tinggal di rumah yang tidak bisa memberikan banyak perlindungan dari bencana. Kami kepanasan akibat dampak dari kenaikan temperatur.
Indonesia masuk dalam daftar 50 negara teratas di dunia di mana anak-anak paling berisiko terkena dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan, seperti banjir dan kekeringan, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola curah hujan, dan peningkatan suhu. Sekitar 51 juta rumah tangga tinggal di daerah rawan bencana yang membuat mereka sangat rentan. Polusi udara adalah satu dari lima faktor risiko utama kematian anak di bawah usia lima tahun.
Dari daerah pedesaan seperti kampung halaman saya hingga pusat kota di seluruh Indonesia, krisis iklim meningkat dengan cepat. Jika tren saat ini berlanjut, naiknya permukaan laut akan berkontribusi pada erosi pantai dan banjir, sehingga masyarakat di pesisir seperti saya menghadapi risiko besar antara lain genangan permanen di permukiman dan salinisasi.
Semakin saya mulai memahami apa artinya hal ini bagi kehidupan dan masa depan komunitas saya – dan bagi semua orang Indonesia – semakin saya ketakutan. Kemudian saya memutuskan untuk mengubah ketakutan saya menjadi tindakan. Saya memutuskan untuk melakukan apa pun yang bisa saya lakukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut di Maluku.
Tahun lalu, saya memulai kampanye #TarusJagaRumah sebagai cara bagi pemuda Maluku untuk berkolaborasi dalam aksi iklim. Sejak saat itu, kami telah melakukan tindakan nyata seperti menanam pohon dan bakau, mengorganisir kegiatan membersihkan pantai, berbagi bibit untuk masyarakat setempat, kampanye dan masih banyak lagi. Kami percaya pada pentingnya tindakan sederhana, dan bahwa satu orang dapat mempengaruhi orang lain untuk menjadi aktivis iklim – dimulai dari komunitas mereka sendiri.
Sebagai orang muda, kami khawatir tentang krisis yang tidak kami ciptakan, tetapi harus kami hadapi. Kami sangat prihatin tentang keberlanjutan masa depan planet ini, dan apakah planet ini akan layak huni atau tidak untuk generasi berikutnya.
Karena apa yang saya saksikan di komunitas tempat saya dibesarkan, nasib masyarakat pedesaan saat kita mengatasi krisis iklim sangat dekat di hati saya. Satu hal yang menjadi kekhawatiran saya jika para aktivis iklim terlalu fokus pada langkah-langkah mitigasi untuk wilayah perkotaan padahal justru di pedesaan kerusakan yang paling luas terjadi.
Saya ingin mengingatkan mereka yang berkuasa bahwa krisis iklim menimpa daerah pedesaan dengan konsekuensi yang menghancurkan. Tahun lalu, petani di Maluku Tengah menghadapi curah hujan yang tinggi dan sinar matahari yang berkurang, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah dan kualitas panen tanaman seperti singkong dan ubi jalar. Banyak keluarga yang saya ajak bicara juga melaporkan tangkapan ikan mereka berkurang, dan mereka mengaitkannya dengan cuaca yang lebih ekstrem. Dengan menargetkan daerah perkotaan dan mengabaikan daerah pedesaan, kita secara tidak langsung memperburuk dampak perubahan iklim bagi kelompok yang paling rentan.
Saya meyakini bahwa organisasi lokal harus didukung penuh dalam hal pemberian hibah dan membangun kapasitas untuk membantu mereka mendukung aksi iklim di daerah yang lebih terpencil di negara kepulauan seperti Indonesia.
Peraturan nasional tentang aksi iklim dan pendanaan juga perlu diperkuat di seluruh Indonesia, termasuk daerah pedesaan. Pengembangan dan penerapan peraturan ini harus menjadi proses transparan yang melibatkan anak-anak dan remaja, bersama dengan aktivis iklim dan pemangku kepentingan lainnya.
Para pemimpin yang berbicara di konferensi internasional seperti yang sedang berlangsung di COP27 di Mesir perlu memastikan bahwa realitas pedesaan dipertimbangkan lebih besar dalam aksi iklim dan pendanaan. Jika mereka serius ingin mencegah krisis iklim lebih lanjut, khususnya di wilayah seperti tempat saya tinggal, maka mereka harus segera bertindak, sekarang.
***
Engel Laisina, 23 tahun, adalah anggota Mitra Muda yaitu sebuah jejaring remaja yang mengadvokasi perubahan positif di komunitas mereka di seluruh Indonesia. Jaringan ini didukung oleh UNICEF.
Artikel ini sudah terbit di Harian The Jakarta Post.