Menyembuhkan rasa takut dan trauma dengan kasih sayang
Anak-anak yang kehilangan orang tua akibat COVID-19 mencoba mengatasi rasa takut dan trauma dengan bantuan keluarga dan pekerja sosial

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Hari tengah berganti menjadi malam di desa itu, namun sebuah rumah tampak lebih sibuk dari biasanya—pemandangan yang tak mengherankan mengingat situasi duka yang terjadi. Rumah itu dimiliki oleh Sari, 32 tahun, dan suaminya, Bondan. Di bagian belakang rumah, mereka tengah membangun dapur baru dan sebuah kamar tidur untuk adik Sari yang berusia 12 tahun, Aga. Belum lama ini, Aga kehilangan ibu kandung dan ayah tirinya akibat COVID-19.
Semenjak pindah ke rumah Sari, Aga berbagi kamar tidur dengan sang kakak dan Bondan, serta Ruri, putri mereka yang berusia 6 tahun. Aga tampak sangat menyayangi keponakan yang usianya tidak jauh berbeda dengannya itu. “Aku senang,” katanya. “Tapi juga nggak sabar pingin punya kamar sendiri.”
Menurut Sari, Aga adalah anak yang baik dan penyayang, sekaligus agak rapuh, khususnya sepeninggal ibunya, karena mereka sangat dekat. Sementara itu, ayah kandung Aga wafat saat Aga berusia lima tahun.

“Adik saya hidupnya berat,” kata Sari. “Aga lahir prematur, beratnya cuma 1,1 kg dan nggak stabil. Setelah besar, Aga menjadi anak yang sensitif, apalagi sama suara keras. Dia juga rapuh emosinya.”
Akan tetapi, sore itu, Aga tampak tenang dan percaya diri. Saat bercerita, baik tentang hal sehari-hari—kucingnya, bermain bola dengan teman, atau menonton cerita hantu di YouTube—maupun tentang peristiwa traumatis seperti hari-hari terakhir dengan sang ibu, Aga melakukannya dengan runtut dan pemilihan kata yang cermat.

“Aku dengar ibu jatuh di kamar mandi. Lalu aku yang panggil bidan desa,” kisahnya. “Waktu ibu dibawa ke rumah sakit, aku nggak tahu ibu sudah nggak ada. Kukira ibu cuma pingsan.”
Meski pandai menyampaikan informasi, Aga tidak pernah bercerita perihal dirinya sendiri. Sarilah yang mengatakan bahwa Aga harus langsung menjalani isolasi mandiri, seorang diri, selama 10 hari, segera setelah mengetahui kabar kematian ibunya. Dua hari setelah isolasi dimulai, Aga mendapat kabar bahwa ayah tirinya telah menyusul sang ibu. “Bayangin bagaimana perasaannya,” kata Sari.
Beberapa waktu lalu, Aga mengalami demam tinggi yang berlangsung beberapa hari. Dari peristiwa ini, Sari kemudian mengetahui Aga depresi karena mengalami perundungan di sekolah. “Tapi dia nggak cerita apa-apa, saya yang harus bujuk dia untuk cerita,” ujarnya. Khawatir emosi terpendam adiknya akan menimbulkan peristiwa lain, Sari pun mengundurkan diri dari pekerjaannya agar dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan sang adik.

Sari juga berkata bahwa, “Saya senang Aga sekarang sering ketemu Pak Januri.” Nama yang disebut adalah pekerja sosial dari Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PKSAI), program pemerintah yang didukung oleh UNICEF. PKSAI mendukung dan memantau keadaan anak-anak yang menjadi yatim dan piatu akibat COVID-19. “Mudah-mudahan, akan ada lebih banyak konseling untuk Aga.”
Menurut Iksan Tri Wibowo, seorang pekerja sosial lain di Sragen, yang menjadi sebab masalah bukan hanya COVID-19, tetapi juga stigma yang ditimbulkannya. Salah satu anak yang rutin ditemui Iksan adalah Ayra, 12 tahun, yang kehilangan ayahnya karena terjangkit COVID-19.
Periode tiga bulan pertama setelah kepergian sang ayah adalah periode yang terberat. Saat itu, Ayra dapat mengurung diri di kamar setiap hari. “Aku sayang ayah. Kita sering bercanda dan ke mana-mana sama-sama,” katanya. “Tapi ayah meninggal dan aku bahkan nggak bisa ketemu sebelum ayah pergi.”


Kisah Ayra tak berhenti sampai di situ. Setelah Ayra, ibunya, dan Safia, sang adik yang berusia 2 tahun, selesai melakukan isolasi—karena ketiganya positif COVID-19--mereka dijauhi oleh tetangga selama berbulan-bulan. “Nggak ada yang mau dekat-dekat, apalagi membantu,” kata Suwarsi, ibu Ayra.
Kini, sebagai tulang punggung satu-satunya, Suwarsi harus membagi waktu antara membuat makanan ringan untuk dijual melalui tetangga dan membesarkan anak-anaknya. Orang tua Suwarsi tinggal tak jauh dari mereka, namun usia mereka cukup lanjut dan keduanya tak selalu bisa membantu mengasuh Safia. “Jualan sekarang sudah lumayan setelah makin banyak orang yang divaksin,” kata Suwarsi lagi. “Tapi, saya rasanya bersalah karena meminta Ayra untuk menjaga adiknya di rumah saat jam sekolah.”


Namun, Ayra tak keberatan. “Paling banyak dua kali sebulan,” katanya. “Sekarang juga teman-teman di sekolah sudah divaksin, jadi mereka yang seringnya datang ke rumah.”
Meningkatnya cakupan vaksinasi di daerah bukan satu-satunya hal yang membuat Ayra dan ibunya merasa lebih lega. Selain dukungan psikososial yang diberikan UNICEF, keluarga mereka kini menerima bantuan uang, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya dari PKSAI serta program pemerintah lain—termasuk pembukaan rekening tabungan untuk Ayra dan Safia dan dukungan gizi.
Bagi Aga, Ayra, dan ribuan anak di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, kehilangan orang tua akibat COVID-19 merupakan peristiwa menegangkan yang membawa perubahan signifikan dalam hidup mereka. Berkat dukungan berharga dari mitra kami, Accenture di Indonesia, UNICEF dapat memberikan layanan psikososial kepada anak-anak ini dan memperkuat kapasitas penyedia layanan dengan pemerintah untuk memastikan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan mereka.
Ingin Membantu Lebih Banyak Anak-Anak Yatim Piatu Akibat COVID-19?
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh dari aksi nyata yang dilakukan UNICEF, bersama dengan mitra berdedikasi dan pekerja sosial di seluruh Indonesia, untuk mengidentifikasi anak-anak yatim piatu akibat COVID-19, memfasilitasi akses ke layanan kesehatan mental dan psikososial, dan membantu memastikan anak-anak tetap tinggal dalam perawatan berbasis keluarga.
Namun tantangannya masih jauh dari selesai, dan upaya jangka panjang akan diperlukan untuk melindungi anak-anak ini serta anak-anak yang sudah berada di lembaga. Untuk ini kami membutuhkan dukungan Anda.
Jika Anda ingin membantu anak-anak kita tumbuh dengan lebih banyak cinta dan kasih sayang, mohon pertimbangkan untuk berdonasi ke UNICEF. Kami sangat menghargai kontribusi Anda.

“Kalau tanpa bantuan, saya beli susu untuk Safia saja susah, apalagi membiayai sekolah Ayra supaya dia bisa meraih cita-citanya."