Refleksi dari KHA Pasal 29

Pendidikan harus mengembangkan kepribadian, bakat, kemampuan mental dan fisik semua anak dan mengajarkan mereka pengertian, perdamaian, kesetaraan gender dan persahabatan antar manusia, dan menghargai budaya masing-masing dan satu sama lain.

Laksmi Pamuntjak
Girls take part in an anti-bullying programme at school in Sulawesi, Indonesia
UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani
07 November 2019

Sepanjang hidup kita, kita kerap mendengar arti pendidikan bagi orang banyak. Yeats, menggemakan Socrates: “Pendidikan bukan saja ibarat menimba air sumur, namun juga ibarat menyulut bara api.” Antropolog Margaret Mead: “Anak harus dididik bagaimana berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan.” Seorang ahli pendidikan, beberapa waktu lalu: “Tujuan pendidikan adalah mencetak anak-anak yang berpikir kritis, memiliki pengetahuan tentang diri mereka sendiri, ingin menyumbang secara positif kepada masyarakat, dan tahu cara berinteraksi dengan sesama serta mengatasi atau menyesuaikan diri dengan sejumlah tantangan kehidupan.”

Kita melihat pendidikan sebagai satu atau lain hal: sebagai hak, kebutuhan, tanggung jawab, tantangan, kemewahan, impian. Ukurannya pun berbeda tergantung pada fase hidup mana kita berada. 

Bagaimanapun kita merengkuhnya, pendidikan membuat kita ingin meraih semakin tinggi. Ketika kita masih kecil, kita diajarkan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, lulus ujian, mendapatkan ijazah, bercita-cita tinggi, menyumbangkan pengetahuan kepada sesama. Setelah kita dewasa, sebagai guru, ilmuwan atau ahli pendidikan, mungkin begitu pula kita akan menasihati anak-anak muda. Di setiap tahap kehidupan kita, kita memberdayakan diri kita untuk berpikir, mempertanyakan, memilih dan mendidik kemampuan kita menilai kehidupan.

Kita melatih diri kita untuk mendengarkan, menghargai dan merawat perbedaan; untuk membuka mata kita terhadap dunia dan terhadap pelbagai cara pandang. Kita mengasah ketrampilan dan menjadikan diri kita tangguh dalam profesi kita, agar kita bisa berbakti terhadap masyarakat serta menghargai diri kita dengan lebih baik. Kita mendidik diri kita untuk berpikir dan bertindak dengan rasional, memecahkan masalah dan menghindari ilusi dalam hidup. Kita mendidik diri kita untuk berempati, berlaku baik terhadap orang lain, dan menghargai satu sama lain, bukan hanya karena itu semua merupakan impuls yang berharga yang membantu kita dalam hidup bermasyarakat, namun juga karena nilai-nilai tersebut adalah landasan bagi kebahagiaan kita. 

Pada akhirnya, kita semua ingin menjadi orang-orang dewasa yang membesarkan anak-anak yang bahagia. Anak-anak yang tahu bahwa pengetahuan sama dengan kekuasaan, tapi akan jauh lebih berharga apabila diiringi oleh kerendahhatian. 


Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.


 

Convention on the rights of the child
UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani

Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).

Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.

Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.

Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.

Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.