Refleksi dari KHA Pasal 19
Semua anak mempunyai hak untuk diasuh dengan sebaik mungkin, dan dilindungi dari kekerasan, kekejaman dan pengabaian

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Ini adalah sebuah kisah yang dituturkan oleh teman remaja saya. Usianya baru 14 tahun ketika ia dinikahkan oleh orang tuanya. Ia tak ditanya apakah ia mau. Semua berjalan begitu cepat. Sebuah pesta besar digelar, banyak tamu datang. Itu kali pertama ia bertemu suaminya, yang jauh lebih tua. Itu juga kali pertama ia membuka bajunya di hadapan seorang lelaki dan membiarkan lelaki itu menyentuh tubuhnya. Saya kira usiamu 16 tahun, kata suaminya, sebab begitulah orang tuamu memberitahuku. Berhentilah menangis.
Seminggu kemudian, teman saya dikeluarkan dari sekolah oleh orangtuanya. Teman saya ingin tetap sekolah dan tak ingin kehilangan teman-temannya. Tapi orang tuanya bersikukuh. Sekarang kamu harus fokus pada suamimu dan membangun keluarga baru. Ini untuk kebaikan dirimu sendiri, kata mereka. Kamu akan selalu bisa mencari teman-teman baru dan kembali ke sekolah suatu hari. Tapi tak ada yang akan melindungimu seperti perkawinan.
Teman saya tak paham apa-apa tentang kehamilan. Ketika haidnya telat, ia tak tahu ia hamil. Ia mulai sering sakit kepala dan visinya mulai buram. Lalu ia mulai mengalami nyeri di bagian perut. Pada saat yang sama, suaminya mulai sering pulang malam. Setiap kali teman saya bertanya pada suaminya ia di mana, suaminya berang. Kadang teman saya dipukul.
Dalam fase kedua kehamilannya, teman saya mengidap pra-eclampsia. Anak perempuannya lahir tiga minggu lebih dini. Kondisi anak itu lemah, beratnya jauh di bawah rata-rata. Tak lama kemudian, suami teman saya kembali menghilang—kali ini untuk hidup dengan istri keduanya.
Beberapa bulan kemudian, ayah teman saya wafat. Ibunya begitu patah hati, tak lama kemudian ia jatuh sakit. Teman saya tak saja harus mengurus anaknya yang masih kecil seorang diri, ia pun tambah harus mengurus ibunya. Ketika itu ia bahkan belum 16 tahun, dan tak punya waktu atau punya cukup ketrampilan untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang memadai. Suatu hari seorang duda jatuh iba padanya dan melamarnya.
Untuk beberapa saat, hidup mulai membaik bagi teman saya. Suami keduanya orang berada. Teman saya sempat mendaftar kembali ke sekolah, walaupun tak diterima. Menurut sekolah itu, ia 'panutan negatif' karena sudah menikah.
Tak lama kemudian, gara-gara sebuah proyek bisnis yang gagal, suami teman saya kehilangan seluruh hartanya. Ia tinggal di rumah, tapi tak sudi bekerja. Teman saya terpaksa bekerja di dua tempat—keduanya pekerjaan kasar—untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia mulai sakit-sakitan.
Tahun lalu ia divonis mengidap kanker. Ketika pemerintah Indonesia melarang pernikahan dini baru-baru ini, ia telah tiada. Usianya 22.
Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.

Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).
Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.
Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.
Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.
Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.