"Tidak Ada Lagi Korban, Tidak Ada Lagi Keheningan": Remaja Tuli Tangani Keamanan Internet
Seorang gadis dengan disabilitas menjadi advokat untuk internet yang lebih aman
- English
- Bahasa Indonesia
Di Indonesia, di mana hampir 80 persen penduduknya memiliki akses ke Internet, anak muda menghabiskan rata-rata 5,4 jam online setiap hari. Jam-jam tersebut dipenuhi dengan kegembiraan menjelajahi peluang tak terbatas di dunia digital. Akan tetapi, ancaman serius juga mengintai di ruang-ruang ini, termasuk risiko yang mengkhawatirkan seperti eksploitasi dan pelecehan seksual online.

Bagi Shelda, 18, gadis yang berasal dari provinsi Jawa Tengah dan memiliki tantangan dalam pendengaran, internet pernah menjadi tempatnya untuk mencari berbagai jawaban dan untuk terhubung dengan banyak orang. Namun, satu pertemuan mengubah segalanya. Suatu hari, ketika Shelda sedang bersenang-senang di media sosial, seseorang yang asing mengiriminya DM (Direct Message). "Awalnya, dia ramah. Tapi tiba-tiba, dia mulai meminta foto dan alamat saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa," kenang Shelda. Saat itulah Shelda menyadari—Internet tidak selalu merupakan ruang yang aman.
Dia juga belajar bahwa dia tidak sendirian—banyak orang lain telah menghadapi bahaya serupa. "Salah satu teman saya menerima konten yang tidak pantas secara online. Dia merasa sangat tidak nyaman, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan dia pada akhirnya melukai dirinya sendiri karena merasa sangat kewalahan," kata Shelda.

Banyak anak muda pengguna internet di Indonesia yang kurang sadar akan risiko online, sehingga mereka menjadi sasaran empuk—terutama anak-anak dengan disabilitas, yang seringkali memiliki akses terbatas ke pendidikan keamanan online.
Menurut studi Disrupting Harm (2022), sebuah kolaborasi antara UNICEF, ECPAT International, dan INTERPOL, setidaknya dua persen anak-anak berusia 12-17 tahun di Indonesia telah menjadi korban pemaksaan, pemerasan, atau eksploitasi seksual secara online. Studi ini juga menemukan bahwa 42 persen anak-anak berusia 8-18 tahun merasa tidak nyaman atau takut dengan pengalaman online. Hal yang sama berlaku untuk 24 persen anak-anak dengan disabilitas.

UNICEF mendukung pemerintah, komunitas, dan advokat remaja untuk mencegah risiko ini. Kampanye nasional #JagaBareng ("saling peduli") untuk pencegahan eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara online telah menjangkau lebih dari 80 juta orang sejak diluncurkan pada tahun 2023, dan melibatkan lebih dari empat juta pengunjung situs web yang mencari informasi tentang cara mengakses layanan terkait. Pada tahun 2024, UNICEF mendukung pemerintah untuk mengembangkan peta jalan nasional untuk memperkuat perlindungan anak secara online.
Di Jawa Tengah, tempat Shelda tinggal, UNICEF dan mitra-mitranya telah melakukan kampanye peningkatan kesadaran tentang keamanan online di sekolah dan komunitas di lima kabupaten. Shelda belajar lebih banyak melalui kegiatan kampanye yang dilakukan bersama Forum untuk Anak Tuli (Kelompok Interaksi) dan di sekolahnya, Sekolah Luar Biasa (SLB), sebuah lembaga khusus untuk anak-anak dengan disabilitas.
Berkat intervensi ini, Shelda beralih dari pengguna Internet yang tidak sadar menjadi advokat untuk ruang digital yang lebih aman. Sekarang, dia sedang dalam misi untuk melindungi anak-anak, terutama mereka yang memiliki disabilitas, dari ancaman online.

Dengan dukungan dari sekolahnya, Shelda menjadi fasilitator—mengajari anak-anak dengan disabilitas di komunitasnya mengenai cara menavigasi internet dengan aman melalui serangkaian lokakarya. "Teman-temanku mendukungku, menceritakan bahwa mereka memiliki masalah di internet, dan percaya bahwa aku bisa membantu mereka menemukan solusinya," kata Shelda dengan penuh tekad. Sesi-sesinya telah membantu rekan-rekannya memahami hak-hak mereka, mengenali ancaman online, dan mengambil tindakan untuk menjaga diri mereka lebih aman.
Advokasi Shelda menjangkau jauh melampaui kampung halamannya. Semangat dan komitmennya membuatnya mendapat tempat di konferensi tingkat menteri global tahun 2024 tentang kekerasan terhadap anak-anak di Bogotá, Kolombia. "Aku belajar banyak waktu itu dan itu membuatku semakin terinspirasi untuk melindungi teman-temanku dari aspek negatif internet," Shelda merenung.

Usahanya tidak luput dari perhatian. Kembali ke kampung halamannya, kisahnya menginspirasi anak muda lainnya. Bagi Caca, 16 tahun, memiliki Shelda sebagai teman memicu dorongan yang sama untuk membuat perbedaan. "Dia [Shelda] menginspirasi kita untuk waspada terhadap bahaya di dunia digital. Aku harap dia bisa menyebarkan kebaikannya kepada lebih banyak orang di luar sana," kata Caca.

Upayanya juga menarik perhatian para pengambil keputusan di Tingkat nasional. "Karya Shelda membuktikan bahwa anak-anak dapat menjadi pelapor dan pelopor dalam memerangi pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara online," kata Dra. Retno Sudewi, Apt, M.Si, MM, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. "Tetapi orang tua juga harus ambil bagian—membimbing anak-anak mereka dan memastikan keamanan online mereka."
Untuk memperluas tingkat kesadaran mengenai hal ini, UNICEF dan mitra memastikan bahwa materi edukasi tentang pencegahan eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara online dimasukkan dalam Modul Pendidikan Kecakapan Hidup Terpadu untuk Pengembangan Remaja untuk pesantren, lembaga pendidikan Islam (madrasah) dan pusat pembelajaran berbasis masyarakat.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama telah memasukkan pesan-pesan kunci tentang keselamatan anak secara online ke dalam buku teks Pendidikan Agama Islam dan Moral untuk Sekolah Menengah Pertama.
Di tingkat nasional, UNICEF mendukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam mengembangkan peta jalan perlindungan anak secara online, yang akan dilaksanakan sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah pemerintah.

Bagi Shelda, ini baru permulaan. "Aku memimpikan internet di mana anak-anak—terutama mereka yang memiliki disabilitas—dapat menjelajah dengan aman, tanpa rasa takut," katanya. "Tidak ada lagi korban. Tidak ada lagi keheningan." Pesannya kepada kaum muda? "Jangan takut. Kalau kamu merasa tidak aman saat online, bicaralah. Beri tahu orang tua, guru, atau seseorang yang kamu percayai. Kamu tidak sendirian."