Tak Perlu Waswas Saat Cemas
Anak-anak muda menyuarakan pentingnya kesehatan mental dan dukungan psikososial pada Hari Kesehatan Mental Sedunia dan sesudahnya

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
JAKARTA, Indonesia – "Saya khawatir jika harus terus menerus belajar jarak jauh karena saya sulit memahami pelajaran,” kata seorang remaja lelaki berusia 18 tahun dari Medan. “Tanpa bantuan yang cukup dari guru, saya tidak yakin bisa diterima ke universitas.”
"Pandemi menyebabkan saya kehilangan pekerjaan,” ujar perempuan berusia 22 tahun dari Jawa Tengah. “Sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru saat ini. Saya jadi merasa tidak berguna dan menjadi beban bagi keluarga, dan kepercayaan diri saya pun menurun.”
Dengan angka kasus COVID-19 yang terus bertambah, rencana membuka kembali sekolah pun harus ditunda dan kesulitan ekonomi terasa di sebagian besar kawasan Indonesia. Di saat pembelajaran terus berlangsung jarak jauh, banyak anak dan anak muda yang merasa kesulitan karena kesenjangan digital dan kurangnya persiapan dari guru dan murid.
Menurut survei U-Report yang dilakukan pada periode Agustus hingga September 2020 terhadap 535 anak muda (64 persen perempuan) dari seluruh Indonesia, mayoritas responden (38 persen) menyatakan khawatir tidak dapat mengikuti pelajaran daring dengan baik. Sementara itu, sepertiga responden (36 persen) takut kembali ke sekolah—terutama karena khawatir tertular COVID-19. Survei lain yang dilaksanakan pada bulan September terhadap lebih dari 1000 responden (71 persen perempuan) menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden (55 persen) takut membicarakan kondisi kesehatan mentalnya dengan orang lain; seperempat responden (24 persen) mencemaskan stigma yang melekat pada orang-orang yang harus mengonsumsi obat-obatan untuk kondisi jiwanya.
Dukungan kesehatan mental dan psikososial adalah salah satu bidang prioritas dalam kerja UNICEF pada situasi darurat dan kemanusiaan—tidak terkecuali pada masa pandemi ini. Memberdayakan remaja dan anak muda untuk menjadi bagian dari komunitas dukungan ini adalah hal penting agar dukungan dapat memberikan dampak bermakna kepada masyarakat.
Untuk itu, sejak Agustus 2020 UNICEF mengadakan sesi bincang-bincang daring setiap dua pekan. Sesi yang dinamakan Ruang PEKA ini diselenggarakan bersama dengan Centre for Indonesian Medical Student Association (CIMSA), asosiasi yang dipimpin oleh mahasiswa. Rangkaian kegiatan Ruang Peka berakhir pada 10 Oktober 2020, bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia.
Dimoderasi oleh UNICEF, sesi terakhir Ruang Peka diisi oleh dialog virtual antara dua perwakilan CIMSA, narasumber ahli dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan Indra Sugiarto, pendiri Masukkampus dan penulis tiga buku motivasi yang laris di pasaran. Dialog ini mencakup beragam topik, seperti dampak pandemi COVID-19 terhadap kehidupan dan kesehatan mental anak muda, kecemasan karena harus melanjutkan pembelajaran jarak jauh, stigma dan dukungan psikososial yang tidak memadai di sekolah, dan lingkungan ideal untuk menjaga kesehatan mental. Topik-topik ini sudah dicakup dalam empat sesi diskusi sebelumnya, namun dihadirkan kembali dalam acara penutupan agar dapat dibahas dari berbagai sudut pandang oleh para narasumber.

“Ruang PEKA adalah inisiatif yang dikawal oleh anak muda untuk merespons isu-isu terbaru dalam kehidupan mereka,” kata Yukari Tsunokake, UNICEF Indonesia Youth Engagement Officer. "Melalui kemitraan dengan CIMSA, kelompok anak muda yang ingin bisa memberdayakan orang lain dan meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia, kami dapat menjangkau, mendukung, dan mengadvokasikan kesehatan mental dan dukungan psikososial untuk anak muda.”
Secara keseluruhan, Ruang PEKA diadakan selama lima kali dan mengundang 11 remaja dan anak muda—termasuk enam perempuan, satu peserta penyandang disabilitas, dan satu penyintas skizofrenia. Mereka berhasil mewakili kecemasan dan pendapat anak muda tentang kesehatan mental bersama dengan enam mitra LSM, dua influencer remaja, seorang pembicara motivasi terkenal, dan dua kementerian yang turut dalam diskusi langsung serta tanya-jawab.
"Harapan saya adalah agar anak muda bisa merasa nyaman mencari dukungan tanpa harus dikekang rasa takut akan mengalami diskriminasi dari orang lain,” kata Audrey, perwakilan dari Depok yang mengikuti sesi keempat. “Mudah-mudahan, inisiatif ini membantu mengatasi stigma kesehatan sehat dan bisa mengingatkan orang lain bahwa gangguan kesehatan mental adalah hal yang wajar, khususnya pada masa pandemi.”
Kunci keberhasilan inisiatif ini adalah kolaborasi strategis dengan berbagai mitra dan pemangku kepentingan. Kerja sama itu memungkinkan Ruang PEKA mengangkat beragam topik seputar kesehatan mental dan menjangkau khalayak yang lebih luas. Hingga saat ini, sesi diskusi Ruang PEKA telah ditonton 6000 kali. Terdapat hampir 3000 anak muda yang menyampaikan pendapatnya melalui jajak pendapat U-Report; sebagian disebarluaskan melalui informasi yang dimuat di saluran media sosial UNICEF, U-Report, dan CIMSA.
"Saya sering kali terharu membaca cerita-cerita yang terkumpul melalui U-Report,” aku Yasmeen, Liaison Officer dari CIMSA untuk Badan-Badan PBB. “Ada anak-anak yang berusia lebih muda dari saya yang mengalami situasi menantang, terutama saat ini. Senang rasanya kami dapat memberikan Ruang PEKA sebagai ruang yang aman untuk bersuara dan menerima dukungan yang mereka butuhkan.”
"Ruang PEKA mengizinkan anak-anak muda mengakui bahwa mereka boleh merasa membutuhkan bantuan. Mereka juga didorong untuk terus berinteraksi dengan orang lain,” ujar Helen Natalia, CIMSA Indonesia Vice President for External Affairs. "Semangat kebersamaan adalah hal yang mendukung dan menguatkan kita selama masa sulit ini. Mari berbagi dan memberikan energi baik kepada orang lain. Dan, sebagaimana kami terus sampaikan di semua sesi diskusi, carilah bantuan profesional jika diperlukan.
Pandemi memengaruhi kehidupan anak muda dalam banyak cara, tetapi kesehatan mental membutuhkan perhatian yang sama besarnya dengan kesehatan tubuh.
"Saya percaya, Ruang PEKA telah memberdayakan anak muda di Indonesia untuk tidak hanya merawat kesehatan mentalnya, tetapi juga mengambil aksi nyata bagi dirinya dan orang lain, bahkan juga untuk turut dalam upaya respons COVID-19,” terang Tsunokake. "Melalui upaya bersama, kami berharap bahwa percakapan seputar kesehatan mental semakin dirasa lazim agar kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, masa depan yang memastikan kesehatan jiwa dan raga setiap anak dan remaja.”
UNICEF akan terus mendukung pelayanan kesehatan mental dan dukungan psikososial untuk anak, remaja, keluarga, dan masyarakat, termasuk melalui kampanye COVID-19 Diaries yang memberikan anak muda wadah untuk berkegiatan secara bermakna dan menghadapi pandemi bersama-sama.
Untuk mengikuti seluruh seri diskusi Ruang PEKA, silakan kunjungi: http://bit.ly/RuangPEKA
Untuk informasi lebih jauh seputar COVID19Diaries, silakan kunjungi: http://bit.ly/unicefcovid19diaries