Tak Ada Anak yang Tertinggal: Bayu Memimpin Jalan Menuju Kehidupan yang Inklusif
Pegiat Advokasi Muda Mengupayakan Perubahan Bagi Anak dengan Disabilitas
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Sejak lahir, Bayu tak asing dengan mendobrak batasan. Pria yang kini berusia 25 tahun asal Pulau Simeulue, Provinsi Aceh ini terlahir dengan cerebral palsy—kondisi yang memengaruhi gerakan dan postur tubuhnya. Namun, Bayu menolak dikotakkan karena kondisinya. Didukung oleh kedua orangtuanya yang gigih, Bayu tumbuh besar dengan kepercayaan bahwa semua mimpi dapat diwujudkan.
Rintangan demi rintangan dilalui oleh Bayu semasa kecil akibat persepsi masyarakat terhadap disabilitas yang ia alami. Pengalamannya tersisih dari kegiatan olahraga dan organisasi sekolah menjadi motivasi di balik misi hidupnya, yaitu mengadvokasikan kehidupan yang inklusif bagi semua anak dengan disabilitas, apa pun jenis disabilitasnya.
Momen penting dalam kehidupan Bayu terjadi ketika ia berusia 14 tahun dan mulai melirik media sosial untuk mencari peluang advokasi. Pintu-pintu kesempatan baru pun terbuka setelah ia terhubung dengan Forum Anak Banten (FAB).
Pada tahun 2013, Bayu yang masih duduk di bangku SMP mengambil langkah kepemimpinannya yang pertama dengan menyelenggarakan forum anak di Kabupaten Simeulue melalui pendampingan secara daring. Langkah ini menjadi cikal-bakal sebuah gerakan yang jangkauannya kelak jauh melampaui daerah kelahiran Bayu sendiri.
Selang tiga tahun, Bayu memperluas gerakan yang ia inisiasi ke seluruh Aceh dan bekerja sama erat dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam hanya dua tahun, forum anak hadir di 23 kota dan kabupaten di Provinsi Aceh.
Di bawah kepemimpinan Bayu, forum anak berkembang pesat. Kader-kader muda dilatih untuk menangani isu-isu seperti kesehatan remaja, perlindungan anak, dan partisipasi bermakna dalam perencanaan dan pembangunan pemerintah.
Tak sedikit kader forum anak yang diakui oleh otoritas setempat dan disertakan dalam pengambilan keputusan penting. Pada tahun 2020, peran Bayu dalam gerakan ini bergeser—dari peran manajemen gerakan ke penasihat etika profesional untuk membimbing generasi baru pelaku advokasi.
Didorong oleh kecintaannya terhadap dunia advokasi, Bayu meluncurkan Aceh Youth Action (AYA) pada tahun 2020 dengan fokus pada isu kesehatan dan gizi. Ia mengemban beberapa peran sekaligus, menyosialisasikan pencegahan COVID-19 kepada masyarakat, mempromosikan imunisasi, memantau status malnutrisi, dan mendorong praktik pengasuhan anak yang lebih baik.
Dedikasinya juga yang membuat Bayu mendirikan Ate Fulawan Research Center Innovation Lab and Academy, platform yang membantu anak muda memeroleh keterampilan abad ke-21. Tak hanya itu, pada tahun 2023 Bayu bergabung dengan Mitra Muda, sebuah jejaring kolaborasi UNICEF dan U-Report Indonesia yang bertujuan memberdayakan generasi muda agar mampu mengadvokasi isu-isu penting.
Pada Januari 2024, Bayu bersama tim Gizi dari UNICEF Indonesia, Kantor Lapangan UNICEF di Banda Aceh, dan Mitra Muda melaksanakan pelatihan untuk pemuda fasilitator, termasuk pemuda dengan disabilitas, sebagai bagian dari program Aksi Bergizi yang bertujuan memperbaiki kondisi gizi remaja.
Bulan berikutnya, giliran Bayu dan timnya, bersama rekan-rekan dari AYA, yang mengunjungi sekolah-sekolah luar biasa di Banda Aceh untuk melaksanakan sesi edukasi yang interaktif. Kegiatan ini dilatari pengalaman Bayu saat mengikuti program pengembangan kapasitas terkait gizi remaja, yang membekali Bayu dengan pengetahuan berharga tentang pola makan sehat, pencegahan anemia, dan fortifikasi pangan—tiga hal yang penting bagi upaya Indonesia untuk mengatasi malnutrisi di kalangan remaja.
“Saya senang akhirnya bisa datang ke sekolah Yayasan Pendidikan Penyandang Cacat (YPPC) dan mendiskusikan topik-topik baru dengan murid-murid di sana,” kenang Bayu. “Kegiatan yang menyertakan anak dengan disabilitas artinya kegiatan itu punya sasaran jelas dan informatif.”
Inisiatif Mitra Muda dan AYA, beserta dampak edukasi dan nilai inklusi yang diusungnya, mendapatkan banyak pujian serta menjadi fondasi bagi interaksi berikutnya dengan anak dengan disabilitas. Respons yang baik dari sekolah dan orangtua kian menguatkan keyakinan Bayu bahwa kegiatan-kegiatan tersebut penting.
Bayu membayangkan masa depan di mana anak dengan disabilitas dijamin aksesnya kepada pengalaman yang membuka wawasan dan pendidikan secara luas dan berkelanjutan. “Punya ‘perhatian’ terhadap anak dengan disabilitas saja tidak cukup. Kita juga harus pastikan mereka dilihat, didengar, dan disertakan dalam kegiatan yang bermakna supaya wawasan mereka bertambah luas,” katanya.
Kisah menginspirasi dari Bayu adalah bukti kekuatan semangat dan pentingnya nilai inklusi. “Saat ini, makin banyak anak muda dengan disabilitas yang aktif menyuarakan hak-haknya seperti Bayu,” kata Disability Inclusion Officer dari UNICEF Indonesia, I Made Wikandana. "Mereka harus dilibatkan dalam hal apa pun, mulai dari isu disabilitas hingga isu sosial lainnya. Itulah sejatinya makna dari prinsip tidak meninggalkan satu orang pun.”