Rizka
The Comic Artist
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Sejak Januari lalu dinyatakan sebagai pemenang kontes internasional komik pahlawan super untuk murid sekolah yang diselenggarakan UNICEF, Rizka Ramli sering mendapat pertanyaan: “Siapa yang menginspirasimu untuk menggambar?”; “Apa gaya menggambar dan tema yang paling kamu sukai?” Rizka pun akan menjawab dengan pertanyaan balik sekaligus pemikiran yang anggun: “Apakah harus ada ‘sosok’ tertentu? Dunia sekitar adalah inspirasi saya”; “Saya menggambar apapun juga yang membuat saya tergerak.”
Rizka, yang baru berusia 17 tahun saat diumumkan sebagai pemenang, menunjukkan rasa percaya diri yang tenang dan tanda-tanda seorang seniman sejati. Ia seakan terlahir untuk menggambar. Karya-karyanya—sebagian besar bergaya manga, dengan kedalaman narasi yang beragam—menjadi saksi dari bakatnya.
Namun, saat membicarakan Cipta—karakter pahlawan super yang memenangkan kontes tersebut—Rizka menjadi ekspresif. Walaupun Cipta tidak didasarkan pada diri Rizka, tetapi banyak kisah kehidupan Rizka yang tersampaikan melaluinya. “Cipta saya buat benar-benar beberapa jam sebelum tenggat kontes. Waktu itu tiba-tiba ide saya keluar,” ungkapnya dengan riang. “Tiba-tiba saja saya terbayang sosok dan caranya menghadapi dunia.”
Karakter Cipta adalah siswi SMP dengan kemampuan melihat “The Silence” (si Pembungkam), sosok gelap dan mengancam yang pergi ke mana-mana untuk memaksa korban dan saksi peristiwa kekerasan tetap bungkam. Untuk melawan makhluk ini, Cipta menggambar banyak burung—“merpati,” tegas Rizka, “adalah simbol perdamaian”—meniupkan ruh ke dalam gambarnya dan mengirim burung-burung itu ke seluruh dunia. Burung merpati lantas menemani orang yang membutuhkannya, menyemangati mereka untuk menuangkan pengalaman yang tidak ingin mereka ceritakan dengan ucapan ke dalam gambar, kemudian membawa gambar ini kepada siapapun yang diinginkan: pelaku, pihak berwenang, seorang teman, atau Cipta sendiri.
“Ide dalam komik ini adalah menyemangati korban dan saksi peristiwa kekerasan untuk angkat bicara,” ujar Rizka. “Seperti saya, banyak orang merasa menggambar lebih mudah daripada berbicara, apalagi kalau kejadian yang mereka alami menimbulkan trauma.”
Pada awalnya, Rizka membayangkan Cipta sebagai siswi di sekolah Rizka di Makassar. Cipta tumbuh besar bersama ibunya, orangtua tunggal yang bekerja sebagai jurnalis yang idealis. Pada suatu hari, sang ibu menghilang, kemungkinan terbunuh oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Cipta pun terpaksa belajar menopang dirinya sendiri.
Namun demikian, Rizka akhirnya memutuskan pahlawannya haruslah sosok yang berpindah-pindah lokasi, mengunjungi sekolah demi sekolah. “Cipta mungkin punya kemampuan supranatural, tetapi dalam melawan bullying dan kekerasan ia menggunakan cara-cara damai,” tambah Rizka. “Dan hal ini mungkin ada hubungannya juga dengan pengalaman saya sendiri.”
Rizka berusia sembilan tahun ketika pertama kali merasakan bullying, atau perundungan, secara langsung. Saat itu, ia tengah bersepeda sendirian di sekitar rumah. Saat menepi di sebuah gang, ia tiba-tiba diserang secara verbal oleh sekelompok anak dari lingkungan setempat yang lebih tua darinya.
“Saya berbalik, tetapi ada anak-anak lain yang menghalangi jalan. Saya terpojok. Jadi, saya diam saja di atas sepeda, menunggu sampai magrib hingga anak-anak itu pergi. Saya seolah lumpuh.”
Setelah itu, selama beberapa waktu Rizka tidak mau keluar dari rumah. Untuk pergi dan pulang dari sekolah, ia harus diantar dan dijemput oleh salah satu kakaknya. Pada masa sulit inilah, Rizka menemukan rasa aman dari menggambar, dan ia belajar dari permainan video, film anime, dan buku komik.
Di SMP, peristiwa perundungan dan pelecehan semakin sering ia temui. Matanya segera terbuka terhadap berbagai bentuk kekerasan ini. “Kadang, saya menangis di rumah. Saya sampai berhenti menggambar karena tidak mau mengingat apa-apa. Saya makan banyak dan menjadi gemuk. Mungkin, saya ingin membuat diri saya tidak tampak menarik. Namun, tidak ada yang berubah. Saya masih diolok-olok, digoda, dirundung oleh baik anak lelaki dan perempuan.”
Di akhir masa SMP, tanpa sengaja ia menemukan kembali dunia menggambar dan komik. “Saat itu saya mulai sadar, ternyata ada cara untuk bercerita tentang suatu masalah tanpa harus mengucapkannya.” Perasaan inilah yang, sedikit demi sedikit, menguat dalam dirinya, hingga Oktober 2018, ketika UNICEF mengumumkan konteks menggambar pahlawan super untuk murid sekolah. Kontes ini memang bertujuan membantu mengakhiri perundugan dan kekerasan yang dihadapi anak-anak dan kaum muda lain di seluruh dunia.
“Saya jadi tergerak,” kata Rizka. “Saya memikirkan hubungan saya dan menggambar, dan kemungkinan menggunakan seni sebagai alat untuk melawan.” Kontes ini juga membuatnya banyak berefleksi. “Saya jadi tahu bahwa pada dasarnya saya tidak suka konfrontasi. Mungkin, itu juga sebabnya saya memilih merpati sebagai pembawa pesan Cipta.”
Pada bulan April, Rizka mulai bekerja sama dengan tim pembuat komik profesional di Amerika Serikat untuk memproduksi buku komik setebal 10 halaman berdasarkan konsepnya “Saya belajar banyak. Mereka menunjukkan tidak hanya cara mengomunikasikan kekerasan dengan lebih halus, tetapi juga cara membuat plot, mengatur ritme cerita, dan membuat cerita yang lebih singkat tetapi padat.”
Sekarang, Rizka yang telah lulus SMA punya banyak waktu luang. Saat ini, ia senang bisa menyibukkan diri dengan mengerjakan pesanan gambar. “Saya jadi ada kegiatan sambil mengisi liburan,” katanya. Ia berharap dapat berkuliah di ISI, institusi seni terkemuka di Yogyakarta.
Tak lama lagi, ia juga akan diberangkatkan ke New York. Ia bersemangat menantikan perjalanan ini, dan kesempatan menyajikan bukunya pada Forum Politik Tingkat Tinggi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan. “Kalau ada satu pesan yang bisa saya sampaikan kepada semua orang di sana, maka akan saya katakan bahwa sekolah harusnya menjadi tempat yang bebas kekerasan dan perundungan, bukan sebaliknya.”