Refleksi dari KHA Pasal 8

Semua anak mempunyai hak atas identitas, nama, kewarganegaraan, dan ikatan keluarga, dan atas bantuan pemerintah apabila ia kehilangan bagian manapun dari identitasnya.

Laksmi Pamuntjak
Girls at home in Sulawesi
UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani
14 November 2019

Aku mempunyai seorang sahabat, dan ia baru saja memberitahuku bahwa ia tak ada. 

Aku lahir dan dibesarkan di Tangerang, ia berkata, keluargaku telah menetap di sana selama hidupku. Kami semua bekerja keras, berbahasa Indonesia, dan tak kenal tempat tinggal lain. Meski demikian, banyak dari kami yang tak punya KTP. Aku ada tapi juga tak ada—itulah bagian yang terburuk. Jika suatu hari aku mengalami kesulitan, ke mana aku mencari bantuan? Kalau aku meninggal kelak, apakah aku berhak atas akte kematian jika akte kelahiran saja aku tak punya? Apa saja hak dan kewajibanku?

Kamu tak sepenuhnya benar, kataku padanya. Sebab kamu ada. Aku sedang memandangmu, kamu sedang memandangku, dan kita sedang bercakap dengan satu sama lain. Aku tahu kamu, kamu tahu aku, kita saling mengenal. Esok kita akan bertemu kembali, pada sebuah hari lain dalam keberadaan kita—kamu dan aku. 

Memang betul, ada banyak hal yang aku tak tahu. Di mana letak perbedaan merasa sebagai bagian dari sebuah bangsa dengan menjadi warga sebuah negara. Bagaimana sebuah negeri tercipta? Apakah mereka menjadi atau menubuh dengan sendirinya hanya karena mereka memiliki bahasa bersama atau apakah ini lebih merupakan sebuah 'perasaan' terhadap sesuatu—terhadap sebuah tempat atau sebuah kenangan? 

Aku tahu aku masih harus belajar banyak tentang negeriku, meskipun aku hafal hampir semua lagu perjuangan yang diajarkan di sekolah, dan selama dua tahun berturut-turut aku menjadi anggota Paskibraka pengibar bendera dalam upacara perayaan kemerdekaan di sekolah. Aku memang bukan juara kelas, tapi aku murid yang cukup rajin, terutama dalam kelas geografi. Mata pelajaran itu selalu mengingatkanku akan betapa besarnya tanah airku, dan betapa luar biasanya bahwa kita semua bisa bersatubahasa meskipun kita tak serupa. Kadang aku melihat mata orangtuaku berkaca-kaca setiap kali televisi memberitakan seorang Indonesia berprestasi di mancanegara. Mereka bilang mereka bangga menjadi orang Indonesia—dan mereka tahu suatu hari aku akan merasa seperti itu juga, dan perasaan itu akan semakin kuat seiring dengan usia. 

Kamu ada, sahabatku, sebab kamu hidup. Dan fakta itu layak didedahkan, agar semua orang bisa melihatnya: hitam atas putih. Adalah hakmu untuk mempunyai hak. 

 


Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.


 

Convention on the rights of the child
UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani

Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).

Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.

Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.

Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.

Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.