Refleksi dari KHA Pasal 18
Orang tua atau wali berbagi tugas dalam memenuhi kewajiban membesarkan anak, dan harus selalu mempertimbangkan apa yang terbaik bagi anak itu. Pemerintah harus membantu menyediakan fasilitas untuk menopang mereka

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Pada mulanya sebuah harap: kau ingin punya anak. Dan kau mendapatkannya. Kadang ia begitu saja terjadi. Kadang ia tak direncanakan. Kadang ia lahir dari keinginan yang begitu kuat, melibatkan perencanaan dan pengorbanan yang tak main-main—secara fisik, emosional dan finansial. Ia datang bersama segala harapan dan derita, serta kebahagiaan setelahnya.
Kadang ada sesuatu yang salah: bayi itu tak sehat. Pada menit pertama ia lahir, pada menit pertama kau menyentuhnya, kau tahu ada sesuatu yang tak seperti seharusnya. Atau barangkali ginekologmu telah memberitahu bahwa ada masalah dengan janinmu ketika ia masih dalam kandungan. Kau mengalami dilema. Kau merogoh jauh ke dalam lubuk keyakinanmu terdalam, ke dalam semua nilai yang kau usung: kau bebaskan bayi itu dari penderitaan seumur hidup. Atau kau bebaskan dirimu dan keluargamu dari penderitaan yang sama. Atau kau rengkuh dan syukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepadamu dan mengasuhnya sebaik mungkin, selama mungkin.
Kau teringat: siapapun bisa menjadi orang tua, tapi orang tua yang baik akan meletakkan sang anak di atas kebutuhannya sendiri. Anak tak seharusnya berkorban agar kau bisa menjalani hidup yang kau inginkan; kau yang harus berkorban agar anakmu bisa mendapatkan kehidupan yang sepantasnya.
Kau juga teringat bahwa anak adalah karunia, dan mengasuh anak adalah tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang melampaui sekadar kesadaran untuk memenuhi kebutuhan dasar anak—sandang pangan, atap, pendidikan, perawatan kesehatan, kasih sayang dan dukungan moril; melampaui sekadar mengetahui apa yang membuat anak bahagia atau bagaimana caranya membesarkan anak agar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.
Ketika ini melibatkan dua orang tua, tanggung jawab harus dipikul bersama. Tanggung jawab ini umumnya bersifat rasional: menjadi orangtua pada usia yang matang, merencanakan jumlah anak yang pas, memberi jarak antara kelahiran satu anak dan anak lainnya demi kesehatan ibu dan anak. Tanggung jawab bersama berarti kedua orang tua harus mempunyai pengetahuan dasar tentang pertumbuhan anak serta pemahaman bahwa kebutuhan dan perilaku anak berevolusi selama masa hidupnya. Tanggung jawab bersama berarti memahami bahwa setiap anak unik dan tak ada yang namanya pendekatan tunggal dalam mengasuh anak.
Tanggung jawab bersama berarti berkelakuan seperti orang dewasa, termasuk hal yang kadang paling sulit itu: mengurus diri sendiri dan satu sama lain. Saling memberi perhatian dan bergiliran: melakukan pekerjaan rumah tangga ketika pasangan kita sedang menyusui, memastikan bahwa pasangan kita cukup istirahat ketika sedang hamil, menciptakan ruang privat bagi pasangan kita untuk menyusui, mengoptimalkan cuti melahirkan untuk ayah.
Tak kurang pentingnya, tanggung jawab bersama berarti mengakui bahwa kita semua punya keterbatasan dalam pengetahuan dan kesabaran kita. Itu bisa berarti kau tak usah merasa gengsi minta bantuan ke orang lain: anggota keluarga, guru, psikolog atau konselor. Itu bisa berarti memahami dan menuntut hak kita untuk mengasuh anak dengan cara yang bertanggung jawab, sebab itulah hak anak kita yang paling mendasar.
Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.

Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).
Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.
Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.
Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.
Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.