Mencari Pola Makan Sehat di Indonesia
Mencari Pola Makan Sehat

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Waktu baru menunjukkan pukul 8 pagi, namun sinar matahari sudah menyengat, memanasi lapangan olah raga di depan sebuah SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di satu sisi lapangan, sedang berlangsung latihan bola basket, sementara kegiatan tenis berlangsung di sisi satunya. Namun, tidak semua murid turut serta. “Saya nggak suka berolah raga di luar ruangan. Terlalu berdebu dan panas!” kata Zahfa sambil tertawa. Melihat anak-anak lain yang sedang asyik mengobrol di tempat yang teduh, Zahfa jelas tidak sendiri. Bagi banyak murid, pelajaran olah raga adalah satu-satunya kesempatan mereka berkegiatan fisik dalam sepekan. Jam bersekolah yang panjang tidak memberikan mereka banyak kesempatan untuk berolah raga—ataupun mendukung pola makan yang sehat. Murid diharuskan tiba pukul 6.45; sekolah berlangsung hingga sore dengan beberapa kali jam istirahat. Hal ini bisa turut menjelaskan mengapa waktu sarapan begitu sering dilewatkan.
Menurut penelitian UNICEF tahun 2017, sekitar separuh remaja Indonesia tidak menyantap sarapan di rumah. Makanan pertama mereka untuk hari itu adalah apa pun juga yang tersaji di sekolah. Umumnya, tidak ada aturan tentang jenis makanan yang bisa dijual di kantin. Dengan begitu, biasanya, makanan yang ditawarkan bergantung pada keputusan sekolah atau penjual di kantin. Selain itu, pembahasan tentang gizi dan aktivitas sehat pun umumnya tidak mendapat banyak porsi di kurikulum sekolah.

Faktor-faktor tersebut, dan perubahan pola makan (misalnya, kenaikan konsumsi makanan tidak sehat) serta industrialisasi mendorong peningkatan angka berat badan berlebih di kalangan remaja hingga dua kali lipat dalam kurun antara tahun 2004 dan 2013. Perhatian Indonesia biasanya diarahkan pada upaya mengurangi angka kurang gizi—yang memang masih menjadi masalah besar dengan sekitar 30 persen balita mengalami stunting. Namun, di tengah ini semua, meningkat pula kesadaran mengenai pentingnya membangun pengetahuan dan memperbaiki sikap serta perilaku remaja, keluarga mereka, dan masyarakat mengenai pola makan yang baik dan aktivitas sehat.
Hal di atas berarti gizi dan pesan-pesan mengenai nilai penting aktif secara fisik perlu dimasukkan ke dalam kurikulum untuk murid seperti Zahfa. “Di rumah, saya menonton TV,” katanya, “atau bertemu teman, makan, dan mengobrol di kafe.” Zahfa mencoba berolah raga sekali atau dua kali sepekan, tetapi sulit menyesuaikan jadwalnya. “Sekolah selesai pukul 4 sore. Kalau saya ke gym, saya baru sampai rumah lagi pukul 6 sore. Melelahkan.”
