Menjaga Layanan Gizi di Tengah Pandemi COVID-19
Dengan bantuan UNICEF, para petugas gizi di seluruh Indonesia terus memberikan layanan penting untuk kesehatan dan gizi anak.
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Dessy Sandra Dewi bersiap mengunjungi para pasiennya pada hari itu. Ia mengenakan pelindung wajah, kemudian memastikan dirinya siap untuk pergi. Sebagai petugas gizi, melakukan kunjungan ke rumah-rumah untuk memantau pertumbuhan anak serta memberikan konseling pola makan kepada orang tua adalah rutinitas normal.
Namun, pandemi memutarbalikkan segalanya. Seperti banyak tenaga kesehatan lain, Dessy pun takut tertular COVID-19. “Saya harus mengingat alasan saya melakukan pekerjaan ini,” katanya.
Sementara Pemerintah Indonesia memfokuskan upayanya menanggulangi pandemi, kebutuhan terhadap dukungan untuk pelayanan gizi tidak berkurang dan tetap sama mendesaknya.
Survei UNICEF baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat malnutrisi ibu dan anak di Indonesia masih merupakan yang tertinggi di dunia. Indonesia juga menghadapi tiga beban malnutrisi: keadaan kurang gizi, defisiensi mikronutrien, dan angka kelebihan berat badan serta obesitas yang meningkat.
Menurut survei tersebut, satu dari tiga anak di Indonesia—atau sekitar tujuh juta anak—mengalami stunting, atau keadaan pendek untuk usianya. Lebih dari satu juta anak mengalami wasting, atau keadaan sangat kurus, dan angka ini adalah yang keempat tertinggi di dunia. Hal-hal ini tidak mengejutkan, mengingat sebagian besar bayi berusia antara enam bulan dan dua tahun tidak mendapatkan makanan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tubuh dan otak mereka yang cepat. Pada saat yang sama, terdapat hampir dua juta anak balita yang diperkirakan mengalami berat badan berlebih atau obesitas.
Sebelum pandemi, faktor kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, ketimpangan gender dan kesenjangan di masyarakat, infrastruktur yang lemah, bencana alam, dan risiko terkait lingkungan dan iklim telah memperparah kondisi di atas.
“Kehilangan pendapatan dan akses terbatas ke makanan sehat akibat guncangan ekonomi saat ini, angka anak yang mengalami malnutrisi di Indonesia sangat mungkin meningkat. Hal ini mencemaskan, khususnya karena asupan makanan dan gizi yang baik sangat penting bagi imunitas seseorang dan kemampuan tubuhnya mencegah dan melawan COVID-19.”
Komunikasi dan konseling secara virtual
Saat awal pandemi, pembatasan mobilitas tak pelak mempersulit pelaksanaan tugas tenaga kesehatan seperti Dessy. Tidak jarang, mereka harus melakukan kunjungan ke rumah.
“Kami juga harus menghemat energi,” kata Dessy. “Tidak mungkin kami mendatangi lebih dari sepuluh rumah dalam sehari.”
Karena menyadari keterbatasan mereka, Dessy dan rekan-rekannya segera mengalihkan sebagian besar pekerjaan ke dunia maya. Kelas-kelas untuk ibu hamil dan menyusui, misalnya, yang dulu dilakukan di posyandu, kini berganti menjadi interaksi di grup WhatsApp (WA).
Grup WA pula yang membuat Dessy dapat memantau keadaan para ibu tanpa harus bertemu secara langsung. Ia baru akan menjadwalkan kunjungan jika terdapat risiko kesehatan yang serius.
Dengan dukungan UNICEF, Dessy dan timnya juga telah menyusun prosedur operasional standar bagi pemberian layanan.
Menurunkan risiko sekaligus mengoptimalkan pelayanan
Prosedur mereka cukup sederhana.
“Pertama, buat janji dulu secara online, lalu sepakati untuk ketemu di area luar rumah, misalnya di teras, atau di dalam rumah tetapi pintu dibuka,” jelasnya. “Masker dan pelindung wajah selalu dipakai. Juga sarung tangan kalau perlu menyentuh pasien.”
Untuk menurunkan risiko tertular COVID-19, durasi kunjungan dibatasi menjadi 15 hingga 20 menit dan jarak tempat duduk dijaga minimal satu meter. Baik tenaga kesehatan maupun tuan rumah juga diwajibkan mencuci tangan.
Baru-baru ini, Dessy dihubungi oleh Winda Ika Saputri, seorang ibu muda, melalui grup WA. Winda mengkhawatirkan Fariska, putrinya yang berusia 16 bulan, yang sudah dua bulan berat badannya tidak bertambah. Dessy memutuskan menemui Winda.
Pertemuan mereka berlangsung di area luar rumah Winda. Dessy memperhatikan kulit Fariska yang pucat dan perilaku si bayi yang gelisah di gendongan ibunya. Suami Winda baru saja kehilangan pekerjaan. Sebagai akibatnya, pola makan keluarga mereka pun berubah.
Setelah menimbang bobot Fariska, Dessy menyarankan menambah porsi asupan protein. Seminggu kemudian, Winda memberikan kabar bahwa Fariska lebih lahap makan dan tampak lebih sehat. Kekhawatiran Winda pun mereda.
“Saya senang sekali Ibu Dessi datang. Sejak dia membantu bayi saya, saya tidak cemas lagi.”
Kabar-kabar serupa dari para ibu lain yang diterima oleh Dessy menjadi angin segar di tengah kecemasan yang mengganggunya sejak pandemi dimulai. “Namun, kita tidak boleh berhenti memberikan dukungan,” katanya.
Ingin membantu agar anak-anak Indonesia tetap mendapatkan layanan gizi di tengah pandemi COVID-19?
Berkat sumbangan dari para dermawan di Indonesia, UNICEF dapat bekerja sama dengan tenaga dan otoritas kesehatan, anggota masyarakat, dan petugas gizi seperti Ibu Dessy untuk memastikan agar layanan gizi yang layak, bermakna, dan setara tersedia di tingkat masyarakat, yaitu sedekat mungkin dengan para penerima manfaat.
Akan tetapi, sebagian besar pekerjaan ini menuntut koordinasi dengan berbagai sektor lainnya, termasuk air, sanitasi, dan kebersihan (WASH); kesehatan, gizi, pendidikan, perlindungan sosial, dan sistem pangan serta pelaksanaan strategi komunikasi untuk menghasilkan perubahan perilaku.
Di samping itu, kegiatan advokasi membutuhkan kemauan politik, seperti kerangka hukum yang kuat dan inovasi teknologi untuk meningkatkan komunikasi di di kalangan remaja serta di antara orang tua dan tenaga kesehatan. Untuk itu, kami membutuhkan dukungan Anda.
Untuk membantu tenaga kesehatan berdedikasi seperti Ibu Dessy meningkatkan status gizi ibu dan anak di Indonesia Anda dapat berdonasi ke UNICEF. Kami akan sangat menghargainya.