Belajar menyatukan kembali keluarga-keluarga di Palu

Lebih dari 100 anak dilaporkan hilang setelah gempa melanda Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2018. Pascabencana, UNICEF mengadakan pelatihan untuk pekerja sosial agar dapat menemukan anak-anak itu dan menyatukan mereka kembali dengan keluarga

Jimmy Kruglinski, Communications Officer
Robby Saputra (33), Ramadhani Sri Handayani (32), Nurfanny (30), and Triyana Sari (30) pose in front of the camera in the park in the Social Office office area in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, on 11 September 2019.
Arimacs Wilander
30 September 2019

PALU, Indonesia – Saat menghuni tenda pengungsian bersama puluhan keluarga lain, Chi Ramadhani merasakan sebuah dilema. Setelah gempa merusak rumahnya di Palu, ia merasa harus berada bersama keluarganya dan merawat putrinya yang masih bayi. Pada saat yang sama, sebagai pekerja sosial, ia tahu bahwa ada ribuan orang di seluruh Sulawesi yang membutuhkan uluran tangannya.

“Secara moral, saya merasa berkewajiban membantu masyarakat,” katanya, kemudian menyebutkan teman-teman yang rumahnya hancur akibat likuifaksi. “Saya bersyukur masih hidup.”

Setelah serangkaian gempa bumi melanda Sulawesi, Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 300 anak yang terpisah dan tidak didampingi orang dewasa. Sementara itu, 118 anak dilaporkan hilang. Tim pekerja sosial provinsi ditugaskan menemukan anak-anak ini dan menyatukan mereka kembali dengan keluarga masing-masing.

Menurut pekerja sosial, Robby Saputra, melacak dan mempersatukan kembali keluarga adalah aspek paling menantang dalam pekerjaannya setelah bencana terjadi. “Ini adalah upaya baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya,” jelasnya. “Selain itu, angka kasus yang dilaporkan juga tinggi.” Lebih jauh lagi, tidak sedikit anak-anak mengungsi yang selalu bergerak dan sering kali sudah pindah ke tempat lain pada saat pekerja sosial tiba di lokasi tempat mereka dilaporkan berada.

Sulitnya situasi yang dihadapi membuat tim merasakan tekanan hebat. “Sangat sulit harus menghadapi orang tua yang melaporkan anak-anak mereka yang hilang,” kata Chi. “Terkadang, kami tidak bisa memberikan kabar terbaru, dan hal ini membuat kami merasa tidak berdaya.”

 

Chi Ramadhani adalah satu dari empat pekerja sosial di Sulawesi Tengah
Arimacs Wilander
Chi Ramadhani adalah satu dari empat pekerja sosial di Sulawesi Tengah yang bertugas mencari keberadaan anak-anak yang dilaporkan hilang oleh keluarga mereka pascagempa tahun 2018.

Tiga hari setelah gempa terjadi, tim dari Sulawesi Tengah, beserta 48 pekerja sosial dari provinsi-provinsi tetangga, ikut serta dalam pelatihan mengenai perlindungan anak dalam situasi darurat yang dipimpin oleh UNICEF. Selama lima hari, peserta belajar cara menentukan status seorang anak—hilang, terpisah, atau tanpa pendampingan orang dewasa, kemudian memberi saran tindak lanjut yang sesuai. Peserta juga diajarkan cara memanfaatkan media sosial untuk memantau informasi anak hilang. Selanjutnya, setelah jam-jam panjang bertugas di lapangan, para peserta diberikan kesempatan mengungkapkan temuan mereka di hadapan kelompok serta menerima masukan.

 “Pelatihan itu berguna sekali,” kata Robby. “Itulah pertama kalinya kami menerima pelatihan terkait kedaruratan.”

Salah seorang anak paling pertama yang berhasil dilacak dan dipersatukan kembali dengan keluarga adalah Fikri As Sywie, 7 tahun, yang sedang bermain di luar rumahnya di Palu bersama kakaknya, Mufli, 10 tahun, saat tsunami datang dan menyeret mereka. “Kasus itu luar biasa,” kata Chi. “Kami tidak yakin kami bisa menemukan Fikri.”

Setelah ayah Fikri melaporkan kehilangan anaknya, tim pun memantau media sosial untuk mencari petunjuk. Diketahui bahwa ada seorang anak yang ciri-cirinya sesuai dengan Fikri di masjid di Desa Tavanjuka, sekitar 10 kilometer jauhnya. Chi dan rekannya, Chaldon, pergi ke Tavanjuka dan bertemu dengan warga yang mengonfirmasi bahwa Fikri menginap di rumah mereka malam sebelumnya.

Pada hari yang sama, namun pada waktu yang lebih awal, sepupu mereka yang menemukan Fikri di pantai membawanya ke Morowali Utara—sebuah kabupaten berjarak delapan jam perjalanan. Chi dan Chaldon berhasil melacak keberadaan si sepupu dan melakukan proses verifikasi dan identifikasi. Begitu mereka memastikan anak itu memang Fikri, mereka membawanya kembali ke Palu, tempat keluarga Fikri telah menanti kepulangannya dengan tak sabar.

Fikri disatukan dengan keluarganya di Palu
Arimacs Wilander
Setelah berhari-hari melakukan pelacakan, Chi dan tim menemukan Fikri As Sywie dan menyatukannya dengan keluarganya di Palu

Reuni mengharukan Fikri dengan ayahnya membuat tim sangat bahagia. Kejadian itu juga berdampak positif terhadap semangat kerja mereka. “Kami menjadi sadar bahwa pencarian anak tidak mustahil,” kata Chi. “Kami menjadi lebih yakin saat mencari anak-anak lain [yang hilang]. Setelah sukses menemukan Fikri, masih banyak lagi anak yang berhasil kami temukan dan persatukan dengan keluarga; sejumlah 48 yang dipertemukan sampai bulan September lalu.”

Pengalaman ini menjadikan tim di Sulawesi Tengah lebih mampu menyediakan layanan bagi keluarga yang terpisah akibat bencana. Nurfanny, pengawas tim, menyampaikan pengalamannya di hadapan pekerja sosial di Banten setelah gempa terjadi di provinsi itu. Keempat puluh delapan pekerja sosial yang turut terjun di lapangan telah kembali ke provinsi masing-masing membawa pengetahuan berharga dari pengalaman mereka.

Kerentanan Indonesia terhadap bencana alam membuat tim harus selalu siap menangani kasus perlindungan anak saat terjadi bencana di masa mendatang. “Tidak ada yang berharap gempa bumi terjadi lagi,” kata Robby. “Tapi, kini kami merasa lebih siap dan percaya diri karena tahu apa yang harus dilakukan.”