Melalui Inovasi, Remaja Perempuan Mendobrak Stereotipe Gender

Program Digital Innovation Challenge: Generasi Terampil dari UNICEF mengasah keterampilan praktis dan relevan di dunia kerja bagi remaja di Jawa Timur, sekaligus membantu mendobrak stereotipe gender

UNICEF Indonesia
A girl shows her laptop
UNICEF/2022/Ijazah
10 April 2023

Pada suatu Sabtu pagi yang cerah di pertengahan bulan September, Eka Wahyu Anggraini, remaja berusia 17 tahun, dengan bersemangat bersiap mengikuti kegiatan yang akan menguji daya kreativitas dan inovasinya. Eka dan sekitar 20 orang remaja lain berkumpul di Surabaya, Jawa Timur, sebagai peserta Digital Innovation Challenge 2022: Generasi Terampil, sebuah program pengembangan keterampilan yang digagas oleh UNICEF dan dilaksanakan melalui kemitraan dengan Yayasan Daya Kreasi Anak Bangsa (Markoding),

Sebagai bagian dari program bersama yang diimplementasikan UNICEF dan Markoding, Digital Innovation Challenge mendukung misi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang ingin membekali anak-anak muda dengan keterampilan abad ke-21 (transferable skills), digital, dan kewirausahaan. Hal ini agar anak muda mampu mengenali permasalahan di sekitar mereka, kemudian secara bersama-sama menemukan solusinya. Hingga saat ini, Digital Innovation Challenge telah menjangkau hampir 2.500 pelajar (75 persen perempuan dan 25 persen lelaki) di Provinsi Jawa Timur.

Di Jawa Timur, sekolah-sekolah menengah atas (SMA) menawarkan program jalur ganda (double track), yang menggabungkan pembelajaran vokasi. Hal ini dilakukan agar pelajar dari keluarga tidak mampu, yang orangtuanya tidak memiliki dana untuk membiayai pendidikan tinggi, tetap mendapatkan keterampilan praktis sehingga siap memasuki dunia kerja segera setelah lulus dari SMA. Di SMA Eka, sebagian besar murid perempuan cenderung mengambil program tata boga.

Two girls working together
UNICEF/2022/Ijazah
Eka Wahyu Anggraini (kiri) bersama teman satu tim saat merancang tongkat yang dilengkapi sensor getaran untuk membantu mobilitas penyandang disabilitas netra pada tahap BootCamp di Surabaya, Jawa Timur.

Lemahnya Akses Digital

Di samping stereotipe gender, para murid juga menghadapi tantangan dalam hal infrastruktur dan aksesibilitas, termasuk ketersediaan peralatan elektronik dan koneksi internet yang stabil.

“Aplikasi pemodelan 3D membutuhkan laptop berkapasitas besar, dan kami tidak punya,” ujar Aswadina, yang tinggal di sebuah desa berjarak tiga jam jauhnya dari Surabaya. “Koneksi internet di desa juga lebih sering mati.”

Rahmadani Lestari, 16, mengatakan ia bahkan hampir tidak pernah menyentuh laptop sebelum mengikuti tahap pelatihan intensif, atau bootcamp. Komputer yang pernah dia gunakan adalah komputer bermodel desktop di sekolahnya yang terletak di Kabupaten Lamongan, dan yang tersedia hanya pada masa ujian.  

“Dari yang seperti itu, lalu harus belajar tentang desain aplikasi yang rumit, rasanya kaget juga dan kewalahan. Tapi, lama-kelamaan malah seru,” ujar Rahmadani, yang bersama timnya membuat aplikasi untuk jasa pencucian baju.

Adolescents discussing in a group
UNICEF/2022/Ijazah
Aswadina (tengah) dan timnya merancang aplikasi Plant Cleanser pada tahap BootCamp di Surabaya, Jawa Timur.

Agar para peserta tidak patah semangat saat mengikuti pembelajaran yang dirasa sulit, mentor program seringkali turun tangan mendampingi. Menurut Zulyana, pengajar seni budaya dan kewirausahaan di SMAN 1 Ngronggot di Nganjuk, kegiatan bootcamp adalah lompatan besar bagi murid-muridnya yang di sekolah bahkan tidak punya komputer kelas ataupun laboratorium.

“Program ini sangat penting. Saya melihat bagaimana para murid menjadi lebih kreatif dan percaya diri. Rasa takut mereka saat berbicara di depan umum sudah berkurang, mereka juga berkenalan dengan orang-orang baru.”

Zulyana

Menurut Aswadina, program bootcamp memberikannya rasa percaya diri yang baru sebagai perempuan muda yang bercita-cita menjadi individu yang mandiri secara finansial.

“Pelatihan ini mengajarkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan yang berguna untuk masa depan. Saya yakin, kita (perempuan) mampu, walaupun banyak orang bilang perempuan seharusnya lemah lembut, kemayu, dan bergantung kepada laki-laki,” katanya. “Saya tertarik belajar lebih jauh, tapi aplikasinya tidak gratis. Mungkin bisa patungan dengan teman-teman. Saya ingin membuat lebih banyak lagi produk dan program.”

--

>> Baca lebih lanjut: Innovation Challenge

Ingin Memberi Bantuan Lebih Kepada Remaja di Indonesia?

Berkat dukungan dan kontribusi Anda, bersama dengan semua pihak yang peduli, UNICEF dapat mengembangkan lebih banyak inisiatif dan pelatihan untuk membantu remaja menghadapi tantangan era digital, khususnya bagi remaja perempuan. Kisah di atas hanyalah satu dari banyak kegiatan yang dirancang oleh UNICEF dan mitra-mitra kami untuk meningkatkan keterampilan generasi mendatang serta memajukan kesetaraan gender.

Semua upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari para pendukung seperti Anda yang memperhatikan perkembangan keterampilan dan kesetaraan gender di kalangan remaja Indonesia. Oleh karena itu, kami membutuhkan dukungan berkelanjutan dari Anda.

Jika Anda ingin turut serta dalam program pengembangan remaja atau program lainnya, mari bergabung dan menjadi bagian dari #PendekarAnakUNICEF melalui donasi bulanan atau satu kali di sini. Setiap kontribusi Anda sangat berarti #UntukSetiapAnak.