Mengakhiri Perkawinan Anak Melalui Ceramah Agama
Perjuangan Seorang Ulama Perempuan Menentang Perkawinan Anak di Pelosok Indonesia
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Dalam upacara pernikahan, ceramah agama kerapkali berisi pesan tentang upaya menciptakan hubungan rumah tangga yang bahagia dan langgeng. Namun, di Indonesia belahan timur, seorang Ulama perempuan, Sarifa Suhra mempergunakan mimbarnya untuk tujuan lain: advokasi untuk mengakhiri praktik perkawinan anak.
Sarifa mulai menghimbau pasangan pengantin baru untuk tidak menikahkan calon anak mereka di usia muda usai menerima sejumlah undangan pernikahan dari siswa-siswinya yang masih di bawah umur di komunitasnya di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
“Ada kepercayaan yang telah mengakar kuat di masyarakat bahwa anak-anak—utamanya anak perempuan—harus segera dinikahkan,” jelasnya. “Mendapatkan pelamar dianggap sebagai suatu kehormatan, dan menolaknya dianggap akan membawa karma buruk. Para orang tua berpandangan bahwa sudah terlambat jika anak perempuan mereka belum menikah saat menginjak 20 tahun.”
Dalam beberapa kasus, perkawinan anak juga dapat disebabkan oleh faktor ekonomi karena para orang tua melihat pernikahan sebagai jalan untuk meringankan beban keuangan, khususnya ketika mereka memiliki banyak anak.
Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan memiliki angka pernikahan anak sebesar 14 persen, lebih tinggi dari angka provinsi sebesar 12,1 persen dan angka rata-rata nasional sebesar 10,8 persen. Data dari Dinas Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa pada 2017 terdapat 2,496 kasus perkawinan anak di kabupaten ini dari total jumlah penduduk yang hanya 800,000 jiwa.
Angka tersebut termasuk perkawinan di bawah umur yang tercatat melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Meskipun Indonesia telah menaikkan usia minimum perempuan untuk menikah dari 16 menjadi 19 tahun, keluarga masih bisa mengajukan banding ke Pengadilan Agama untuk dispensasi atau pengecualian.
Melawan Interpretasi Patriarki
Meskipun terobosan hukum tetap diperlukan, namun Safira percaya bahwa sebagai seorang Ulama, ia dapat memainkan peran penting dalam melawan tradisi patriarki yang telah mengakar serta tafsir agama dengan memberikan argumen tandingan yang lebih progresif.
“Para tokoh agama, acapkali kembali ke pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah yang disebut-sebut di bawah umur,” ungkap Safira. “Kisah Aisyah memiliki banyak interpretasi, namun yang perlu digaris bawahi, dia baru tinggal serumah bersama Nabi sebagai pasangan suami istribertahun-tahun kemudian ketika dia sudah cukup dewasa.”
“Inilah yang tengah saya coba lakukan, untuk memperbaiki kesalahpahaman. Ketika argumentasi-argumentasi dibangun mendasar pada ayat-ayat agama, biasanya masyarakat lebih mudah menerima,” ujarnya.
Safira tidaklah sendirian dalam melawan perkawinan anak. Dia didukung oleh pemerintah daerah yang telah menjangkau tokoh-tokoh lokal, organisasi sosial dan keagamaan, serta kelompok petani.
Samsidar, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bone menyatakan bahwa pemerintah daerah mendukung penuh pencegahan perkawinan anak dengan mengintegrasikan semua program dan melakukan upaya penanggulangannya.
“Hal ini sudah menjadi isu utama. Perkawinan anak telah menyebabkan putus sekolah, pekerja anak, kekerasan, dan masalah sosial lainnya,” tegas Samsidar. “Kami dengan tegas mendukung perlawanan terhadap masalah [perkawinan anak] ini”
Meningkatkan Upaya Keagamaan
Sarifa bahagia mendapati para Ulama perempuan sepertinya diberikan kesempatan untuk berceramah menentang perkawinan anak. Melalui dukungan UNICEF, upaya mereka bersama dengan pemerintah telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Mohon pertimbangkan untuk berdonasi ke UNICEF untuk mendukung proyek-proyek penting yang serupa dengan ini.
Di antaranya adalah penulisan ceramah dan buku panduan yang telah ditinjau oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum diterbitkan dan disebarluaskan ke masjid-masjid setempat. Ceramah-ceramah itu kemudian juga direkam di stasiun radio negara RRI dan didistribusikan untuk keperluan studi Al-Quran dan perkumpulan keagamaan di desa-desa serta untuk komunitas petani dan pedagang.
Sarifa beserta tenaga pendidik lainnya juga ditunjuk sebagai pelatih dan anggota tim monitoring dan evaluasi program Pendidikan Keterampilan Hidup di Bone. Berkat bantuan dari UNICEF, program ini berhasil diluncurkan pada September 2019 dan diujicobakan di 12 sekolah menengah pertama di enam kecamatan yang memiliki tingkat perkawinan anak cukup tinggi.
Sebagai bagian dari program Pendidikan Keterampilan Hidup, para guru dan fasilitator kabupaten di kawasan ini dilatih untuk menyampaikan materi tentang kebersihan diri, bagaimana menavigasi masa pubertas, internet dan media sosial, kesehatan reproduksi dan seksual, kesetaraan gender, identitas diri, bersosialisasi dengan teman, dan manajemen kebersihan menstruasi. Dukungan dari orang-orang seperti Anda dapat membantu UNICEF mempertahankan program seperti ini untuk meningkatkan program Pendidikan Kecakapan Hidup di daerah lain di seluruh negeri.
Keikutsertaan para pemangku kepentingan dan upaya koordinasi mereka untuk mengakhiri perkawinan anak telah menampakkan hasil nyata. Jumlah kasus dispensasi di Pengadilan Agama Bone turun dari 228 kasus pada 2019 menjadi 174 pada 2020, dan 62 pada 2021. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bone juga telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan Perkawinan Anak pada 2021, yang memberikan landasan hukum bagi pemangku kebijakan serta program-program yang dikembangkan oleh lembaga setempat untuk mencegah perkawinan anak secara terkoordinir.
“Dulunya setiap semester, selalu saja ada kasus putus sekolah karena perkawinan anak,” Terang Sarifa dengan bangga. “Sebelum adanya program ini, kami menerima banyak undangan pernikahan dari para pelajar. Sekarang, tidak satupun kami terima.”
Hadiah Anda hari ini akan membantu UNICEF untuk menjangkau lebih banyak anak untuk memastikan mereka memiliki akses ke Pendidikan Keterampilan Hidup seperti ini. Donasi Anda sekarang dapat membantu UNICEF melanjutkan pekerjaannya di berbagai bidang untuk memperkuat pencegahan perkawinan anak.