Dari keluarga tak utuh untuk masa depan yang lebih baik
Dukungan kesehatan mental membantu para remaja menghadapi masa sulit.
- English
- Bahasa Indonesia
Ketika Naila, 16, memperkenalkan diri di hadapan peserta sesi ‘Lingkar Remaja’ di Lhokseumawe, Aceh, dia tampil layaknya remaja pada umumnya. Namun di balik kaca mata dan penampilan sederhananya itu, pengalaman hidup yang telah dia lewati, jauh melebihi teman sebayanya.
Terimakasih, Aku!
Tumbuh dewasa di tengah keluarga yang tidak lagi utuh bukanlah hal yang mudah bagi Naila. Sebagai anak tertua, dia juga harus berperan merangkul adik-adiknya melewati masa-masa sulit itu.
“Semenjak orang tua saya berpisah, saya menjadi teman ngobrol ibu,” ungkap aktivis sekolah itu.
“Ini bukanlah hal yang mudah karena saya harus memahami kondisi yang ada, sekaligus memastikan agar adik-adik saya tidak perlu tau apa yang sebenarnya terjadi.”
Setiap Naila berkunjung ke sanak famili terdekat di momen dua hari Eid, mereka akan serta merta berpesan agar Naila kuat. Naila akan mengangguk dan merangkul kecamuk rasa dan pikiran yang menghampiri. Hingga dua fasilitator di kegiatan Lingkar Remaja memberikan ruang untuk berbagi perasaan yang selalu dia pendam.
“Saya selalu ramah saat berkomunikasi dengan guru, teman dan bahkan orang baru, sampai ada teman berujar saya sok akrab. Namun di sesi kali ini saya menyadari bahwa saya belum pernah berbicara dengan diri saya sendiri,” aku Naila. “Hari ini, saya berterimakasih sekali kepada diri saya karena telah kuat menjalani itu semua.”
Sesi itu merupakan bagian dari proses pengembangan pendekatan alat kesehatan mental yang diberikan guru dan profesional melalui Lingkar Remaja. Lingkar Remaja merupakan pendekatan inovatif untuk membantu para remaja melewati masa sulit mereka, yang dibangun di atas perangat Membantu Remaja Berkembang (HAT) dari UNICEF-WHO. Melalui kerjasama dengan Z Zurich Foundation, saat ini UNICEF tengah menguji coba pendekatan baru untuk mempromosikan kesehatan mental dan mencegah masalah kesehatan mental di antara anak remaja dan pengasuh. Program uji coba tersebut tengah berlangsung di tujuh negara, termasuk di antaranya Indonesia.
Alat tersebut dibuat guna meningkatkan pengetahuan, praktik dan perilaku dalam 7 komponen kemampuan yang penting dimiliki oleh remaja, termasuk manajemen emosi dan depresi, penyelesaian masalah dan kemampuan interpersonal, baik untuk remaja awal maupun remaja akhir. Lingkar Remaja merupakan sarana yang baik untuk mengujicobakan pendekatan tersebut, karena melalui sarana ini, remaja dapat beraktivitas dan belajar bersama, serta saling terhubung untuk memberikan dukungan, yang berguna untuk menjaga kesehatan mental remaja.
Menyimak lebih dekat
Di ruangan yang sama, ada Agam, 18 tahun, seorang siswa yang sepintas nampak lebih kalem. Dia masih duduk di kelas 3 SD kala ayahnya memilih meninggalkan keluarganya setelah mengetahui bahwa ibunya mengalami stroke. Sejak saat itu, hidup menjelma seperti lelah tanpa henti. Agam merasa tidak ada seorangpun yang tulus peduli kepadanya. Bahkan dia pun sempat terpikir untuk mengakhiri hidup.
“Suatu ketika, saya berbagi tentang apa yang saya rasakan kepada beberapa teman, namun yang saya dapatkan justru ejekan, bahwa saya terlalu sensitif, cowok tidak boleh menangis, dan seterusnya. Sejak saat itu saya tidak lagi punya nyali untuk berbagi apa yang saya rasakan kepada siapapun,” jelasnya. “Sesi hari ini membuat saya tersadar, rupanya ada ya orang-orang yang benar-benar peduli tentang apa yang saya rasakan.”
Agam dan Naila bukan satu-satunya remaja yang melewati suasana pelik tumbuh di tengah keluarga yang tidak utuh. Pengadilan Syariah Provinsi Aceh mencatat 6,823 kasus perceraian selama January – Oktober 2022.
Di tengah usahanya merangkul masalah keluarga dan tantangan lainnya, kalangan remaja masih dihantui oleh keterbatasan pemahaman akan perasaan dan masalah kesehatan mental dari orang sekitar. Hasil Jajak Pendapat U-Report 2023 mengungkap, dari 887 remaja berumur antara 12-19, 46 persen di antaranya memandang bahwa mereka mendapatkan dukungan dari keluarga namun tanpa dibarengi dengan pemahaman akan kebutuhan emosional mereka.
Program rintisan kesehatan mental yang sedang berlangsung ini bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan orang tua, guru, dan pakar dalam upaya meningkatkan kesadaran akan tantangan kesehatan mental, memperkuat dukungan untuk mempromosikan kesejahteraan mental, dan mencegah kondisi kesehatan mental di kalangan remaja.
“Ibu saya kerap berpesan bahwa datang dari keluarga yang tidak utuh, bukan alasan untuk masa depan yang tidak sempurna. Dan hari ini saya belajar bahwa tidak ada salahnya sesekali kita merasa rapuh dan meminta pertolongan ketika memang dibutuhkan.”
*Nama asli Naila, Agam dan keluarga mereka disamarkan untuk melindungi identitas mereka.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh UNICEF atas kerjasama dengan Z Zurich Foundation. Pelajari lebih lanjut kemitraan global kami untuk kesehatan mental remaja di sini.