Menjaga Anak-anak Sehat dalam Kondisi Sulit
Tingginya risiko kematian sebelum usia dua tahun di kalangan anak-anak dengan HIV.

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
“Saya mau cerita, tapi lebih nyaman kalau di Puskesmas. Soalnya ini kita baru pindah ke rumah ini, nggak mau tetangga curiga kalau ada banyak tamu,” jelas Ibu Mawar (bukan nama sebenarnya) saat kami duduk di ruang tamunya di kota Sorong, Papua Barat.
Ibu Mawar, perempuan yang hidup dengan HIV, baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Hal ini dikarenakan ia selalu minum ARV semenjak dia tahu soal statusnya. Bayi laki-lakinya sudah dites dengan EID (Early Infant HIV Diagnosis), dengan dukungan dari UNICEF yang berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan Kota Sorong. Hasil tesnya negatif. Bayinya nanti harus dites lagi saat ia berusia 6 bulan, dan kemudian saat 18 bulan.

Karena tingginya risiko kematian sebelum usia dua tahun di kalangan anak-anak dengan HIV, ditambah dengan meningkatnya ketersediaan perawatan antiretroviral untuk anak di area dengan sumber daya terbatas, UNICEF mendukung provinsi Papua Barat dalam membangun kapasitas petugas kesehatan untuk melakukan tes diagnosis dini HIV pada bayi sejak 2018. Dalam satu tahun, program ini telah berhasil menyelamatkan sekitar 20 anak-anak di Kota Sorong dan Manokwari dari infeksi HIV. Early infant diagnosis (EID) untuk HIV memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan perawatan maksimal untuk anak-anak yang terinfeksi HIV, membantu dalam menentukan pemberian makan bayi, dan menghindari timbulnya stres bagi ibu dan keluarga. EID menolong menyelamatkan hidup di Papua Barat.
Stigma masih merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia, termasuk di Papua Barat. Stigma mengakibatkan masyarakat enggan untuk menjalani tes, dan bahkan untuk mendapatkan perawatan setelah mereka mengetahuin tentang status mereka. Sayangnya, hal yang sama terjadi pada ibu-ibu hamil. “Mereka malu. Pernah kita mencoba mengunjungi ibu hamil yang baru tahu kalo dia positif HIV, kita datang ke rumahnya, untuk periksa dan anjurkan untuk ARV, malah suaminya yang tidak terima, malah dikejar sama badi’ (sejenis pisau panjang)” jelas Sulce Siwabessy. Sulce adalah Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan Kota Sorong. “Itu masalah terbesar kita, banyak orang yang positif, setelah tahu statusnya, nggak kembali, Mereka hilang saja. Kita tidak bisa cari dan pastikan mereka minum ARV,” tambahnya.
Sejak 2009, semua ibu hamil yang menjalani pemeriksaan kehamilan di pelayanan kesehatan diharuskan menjalani tes HIV. UNICEF mendukung Dinas Kesehatan Kota Sorong sejak 2008, dan di 2018 Kota Sorong terpilih sebagai satu dari tiga lokasi pilot untuk Penguatan Program Kesehatan Ibu, Bayi baru lahir, dan Anak di Papua Barat, dengan pelatihan EID sebagai salah satu kegiatan utama. Menurut Global AIDS Monitoring Report 2018, 49% ibu hamil di Papua Barat dites untuk HIV. Ini merupakan salah satu persentase tertinggi di Indonesia, bersama dengan Papua. Sayangnya, hanya 8,5% dari ibu hamil yang positif HIV menjalani terapi Antiretroviral. Angka ini tidak jauh dari angka nasional, di mana angka cakupan untuk testing HIV pada ibu hamil telah meningkat dari 15% di 2016 ke 36% di 2018, namun cakupan antiretroviral hanya sebesar 13%. Mengingat target untuk Eliminasi Triple untuk HIV, Sifilis, dan Hep-B pada bayi di 2020, masih banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Dan semua orang sudah bekerja keras.
Ibu Mawar merupakan salah satu ibu yang mengetahui statusnya saat melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan. “Saya kaget waktu pertama tahu. Tapi saya nerima sih, bukan yang tidak percaya. Soalnya saya minta cerai dari suami pertama ya karena itu, gaya hidupnya seperti itu,” ujar Ibu tiga anak itu. “Saya menikah waktu umur 13, suami waktu itu 38. Saya harus menikah karena bapak waktu itu ada hutang, dan ya cuma dia (suami pertama) yang sanggup membantu kita,” tambahnya.
Dari pernikahan pertamanya, Ibu Mawar memiliki satu anak, sekarang sudah beranjak remaja. “Suami pertama saya tidak pernah tes, jadi ya nggak tahu statusnya. Anak pertama juga nggak pernah. Dia juga nggak tahu status saya. Saya belum tahu gimana mau ngasih tahu ke mereka. Yang tahu tentang status saya ya cuma suami sama saya saja,” jelasnya. Suami pertamanya kini sudah menikah dan memiliki anak lagi. Stigma atas HIV menimbulkan kompleksitas yang terlalu pada penyakit ini. Ia tidak hanya menyerang fisik, tapi juga melemahkan mental.
“Saya tahu status saya tahun 2013, waktu hamil anak pertama dari suami yang sekarang. Saya nunggu sih sebelum ngasih tahu suami. Saya nunggu sampai anaknya lahir sehat. Saya mau nunjukin ke dia kalau biarpun saya HIV, tapi anak yang dilahirkan tetap sehat, bersih,” ucap perempuan 29 tahun tersebut. “Saya kasih tahu status saya waktu bayinya sudah 10 hari. Dia diam saja sih, tapi terus tanya kapan saya tahunya. Saya bilang sama dia langsung, saya serahkan ke dia, mau nerusin nikah sama saya atau nggak. Apapun keputusan dia, saya terima. Dia bilang dia nggak mau cerai, mau terus sama saya,” tambahnya.
Ibu Mawar sudah menghadapi banyak cobaan hidup, tapi dia tetap tegar dan berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya, terutama ketiga anaknya. Semenjak ia tahu statusnya, dia selalu meminum ARV, walaupun harus melaluinya sendirian, saat ia belum memberitahukan suaminya. Dia tetap meminum ARV setiap hari, yang diakunya sebagai vitamin kehamilan. Mawar juga terlibat dalam kelompok dukungan sebaya, di mana ia bertemu dengan ODHA lainnya. Sepanjang wawancara di Puskesmas, para perawat silih berganti menyapa dan berbagi cerita dan bercanda dengan Ibu Mawar. Terlihat kepedulian yang tinggi dari para petugas kesehatan ini terhadap pasien mereka.

Di Indonesia, ARV bisa didapatkan secara gratis, dan merupakan hal yang sangat membantu untuk pasien seperti Ibu Mawar. Ia bisa melakukan kunjungan ke Puskesmas, menjalani pemeriksaan rutin, dan mendapatkan suplai ARV untuk sebulan. Semuanya bebas biaya. Ibu Mawar saat ini menjalani hari-harinya sebagai ibu rumah tangga, walaupun dulu ia pernah bekerja dan membiayai keluarganya. Suaminya saat ini bekerja sebagai tenaga lepasan, dan tidak memiliki penghasilan tetap. “Anak saya yang pertama harusnya Juni kemarin masuk sekolah, tapi kami belum ada biaya. Saya lihat-lihat koq biaya masuk sekolah mahal sekali. Semoga tahun depan punya cukup tabungan untuk nyekolahin dia,” ujar Ibu Mawar. Saat ditanyakan tentang harapan dan keinginannya, jawabannya sederhana saja, “Saya cuma ingin punya rumah sendiri, dan anak-anak sehat terus.”
*Nama disamarkan untuk menghargai hak anak dan melindungi privasi mereka