Melawan sunyi: Seorang pelajar tuli bersuara untuk lingkungan hidup yang lebih sehat
Anak muda melampaui keterbatasan untuk suarakan harapan bagi masa depan yang bebas polusi pada kegiatan tantangan inovasi UNICEF di Banda Aceh
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Agis baru berusia 15 tahun ketika ia terpaksa meninggalkan kota kelahirannya yang permai di Takengon, Aceh. Ia pergi menuju Banda Aceh, ibu kota provinsi, demi melanjutkan pendidikan mengingat keterbatasan sekolah jenjang SMA untuk pelajar tuli sepertinya di Takengon. Agis yang tumbuh besar dilatari danau terbesar di Aceh dan barisan pegunungan, kerap kecewa saat melihat tumpukan sampah dan tanda-tanda pencemaran setiap kali menempuh perjalanan pulang dari Banda Aceh pasa masa liburan sekolah. Perhatiannya kepada isu lingkungan hidup pun tumbuh, dan kini Agis bercita-cita meneruskan pendidikan hingga jenjang universitas agar dapat menjadi guru sains. Ia ingin dapat mendidik generasi penerus agar mau merawat lingkungan.
Pada bulan Oktober 2022, Agis berkesempatan mewakili sekolahnya di ajang Open Innovation Challenge di Banda Aceh, ajang tantangan inovasi yang digagas oleh Youth for Health dan didukung oleh UNICEF. Berlangsung selama satu hari, kegiatan tersebut menghimpun lebih dari 200 remaja berusia 10 hingga 19 tahun yang saling berbagi ide solusi untuk mengatasi isu kesehatan yang dihadapi remaja, seperti merokok, kesehatan mental, perubahan iklim, dan polusi udara.
Topik-topik di dalam kegiatan itu dipilih oleh UNICEF berdasarkan beban penyakit tidak menular di kalangan anak muda Indonesia. Merokok adalah faktor risiko kesehatan terbesar dengan lebih dari separuh remaja lelaki Indonesia, usia 15 hingga 19 tahun, menyatakan merokok setiap hari. Sementara itu, survei UNICEF tahun 2021 mengungkap bahwa anak muda usia 15 hingga 24 tahun di Indonesia menyatakan sering merasa depresi atau sangat rendah keinginannya untuk berkegiatan. Polusi udara sendiri adalah satu dari tiga faktor risiko kesehatan terbesar yang dapat menimbulkan kematian pada kelompok balita.
Disatukan oleh perhatian terhadap lingkungan hidup, Agis dengan mudah menjalin keakraban dengan teman-teman baru sesama peserta kegiatan di dalam kelompoknya. Untuk memudahkan komunikasi, Agis, dibantu oleh juru bahasa isyarat, mengajarkan mereka bahasa isyarat dasar. Mereka juga belajar bersama-sama dengan fasilitator tentang perubahan iklim dan polusi udara. Namun, sebagian besar sesi mereka lakukan sendiri untuk benar-benar memahami isu iklim dan polusi yang mereka hadapi, kemudian merumuskan solusinya.
Agis dan kelompoknya menuangkan harapan mereka pada papan mimpi, yang berisi uraian kampanye untuk sumber-sumber energi terbarukan sekaligus terjangkau bagi mobil, termasuk energi surya. Setelah itu, setiap kelompok diberikan giliran untuk memaparkan papan mimpi mereka di hadapan kelompok lain.
Bagi Agis, itulah kali pertama ia menyampaikan gagasannya di muka umum. Agis memang tuli, tetapi ia merasa didengar hari itu. Sepanjang hari, Agis ikut mendiskusikan berbagai isu dan melampaui keterbatasan yang biasanya dihadapi oleh pelajar tuli, khususnya terkait akses internet yang terbatas di sekolah. Dari paparan kelompok lain, Agis juga belajar tentang langkah-langkah sederhana yang dapat ia terapkan untuk melindungi lingkungan—mulai dari memperkenalkan sistem penyortiran sampah di sekolah hingga inisiatif pendidikan lingkungan hidup yang ramah remaja menggunakan komik.
Suara-suara penuh asa ini (simak lebih jauh di sini) hanyalah sekelumit visi yang dimiliki anak muda Indonesia untuk masa depan yang lebih sehat. Masa depan yang memungkinkan mereka mewujudkan potensi diri dengan sepenuhnya.
UNICEF berterima kasih atas kontribusi dan dukungan para mitra, antara lain Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh, Aceh Youth Action/Youth ID, Ate Fulawan, dan Mitra Muda.