Menghadapi COVID-19
Remaja perempuan di seluruh dunia membuat dokumentasi video dari keseharian mereka di masa pembatasan sosial

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
Pembatasan sosial, yang bertujuan menekan penularan COVID-19, telah memutus akses jutaan anak ke pembelajaran yang bermakna, imunisasi dasar, layanan gizi, dan layanan kesehatan mental.
Bagi anak dan remaja perempuan, pembatasan sosial juga memiliki konsekuensi terhadap keselamatan mereka.
Risiko kekerasan berbasis gender dan praktik yang membahayakan naik selama pandemi. Ada banyak anak dan remaja perempuan, yang saat ini tidak bisa belajar di sekolah, tidak akan kembali ke sekolah. Masa kanak-kanak mereka direnggut oleh perkawinan anak atau kehamilan.
Pada 2020, remaja perempuan dari seluruh dunia membuat dokumentasi video dari keseharian mereka selama masa pembatasan sosial. Satu tahun kemudian, mereka bersuara untuk merebut kembali harapan mereka akan masa depan yang adil.
Tonton Video Sekarang
Musim 2
Episode 1: Anak-anak Perempuan Berdaya
Hampir dua tahun sejak pandemi COVID-19 bermula, remaja perempuan di seluruh penjuru dunia masih mengalami penutupan sekolah, kesulitan ekonomi, dan isolasi. Namun, pandemi tidak menghentikan mereka untuk bersuara dan menuntut perubahan.
Episode 2: Anak-anak Perempuan Menentang Perkawinan Anak
Akibat pandemi, jumlah anak perempuan yang berisiko dikawinkan akan naik hingga 10 juta orang dalam sepuluh tahun ke depan. Terhentinya pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan lain, serta tekanan finansial yang dialami keluarga, membuat anak perempuan rentan mengalami perkawinan anak. Namun, Makadidia di Mali dan Sangamithra di India dengan giat membangun kesadaran masyarakat di sekitarnya untuk melindungi dan memberdayakan anak dan remaja perempuan.
Episode 3: Anak-anak Perempuan Berjuang Menghadapi Ketimpangan
Di seluruh dunia, norma sosial yang merugikan dan berbagai bentuk lain ketimpangan gender masih menghambat anak dan remaja perempuan dalam mewujudkan potensinya. Kesempatan bermain di luar rumah, mengenyam pendidikan, dan masih banyak lagi tidak tersedia untuk mereka. Ketimpangan gender juga memiliki wajahnya yang paling keji, yaitu kekerasan.
Melalui pembacaan puisi dan jurnalisme, Antsa di Madagaskar dan Trisha di Bangladesh bertekad untuk memutus stereotipe, mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, dan memperjuangkan kesetaraan.
Episode 4: Anak-anak Perempuan Bersuara untuk Isu Menstruasi dan Kesehatan Mental
Pandemi meningkatkan kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan mental dari semua anak, meskipun kesehatan mental hingga sekarang masih memiliki banyak stigma.
Di Uruguay, Sofía ingin bisa membuka diskusi dan mengangkat perhatian komunitasnya terhadap isu gangguan psikososial dan kesehatan mental di sekitar mereka. Sementara itu, Laetitia di Chad sedang berupaya membongkar tabu yang terkait suatu hal yang berdampak terhadap kesejahteraan anak perempuan: menstruasi.
Episode 5: Anak-anak Perempuan Berjuang demi Pendidikan
Akibat pandemi, hampir 77 juta anak tidak bisa mengikuti pelajaran di ruang kelas selama lebih dari 18 bulan terakhir.
Karam di Yaman dan Zulfa di Indonesia memperjuangkan kesetaraan dalam kesempatan belajar di lingkungan mereka.
Musim 1
Episode 1: Pandemi di Mata Anak Perempuan
Saat sekolah ditutup dan keluarga-keluarga berjuang untuk menghidupi diri, remaja-remaja perempuan di sembilan negara harus menghadapi keterisolasian sosial dan ancaman kemiskinan serta perkawinan anak.
“Banyak orang tua yang tidak punya pekerjaan atau pemasukan untuk membayar uang sekolah, jadi anak-anak mulai diminta bekerja,” kata Sangamithra, 15, di India. “Dalam hal anak perempuan, ada keluarga yang ingin mengawinkan anaknya.”
Episode 2: Pendidikan di Mata Anak Perempuan
Karantina nasional di 194 negara menyebabkan 1,6 miliar anak—sekitar 90 persen dari jumlah siswa di seluruh dunia—tidak dapat pergi ke sekolah pada awal April. Banyak anak perempuan berisiko tidak pernah kembali ke sekolah, karena beban ekonomi keluarga membuat sebagian orang tua memilih mengawinkan anak atau meminta anak mereka bekerja.
“Pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu bersekolah, khususnya di lingkungna tempat saya tinggal, sudah menjadi bagian dari budaya di sini,” kata Antsa, 16, di Madagaskar.
Episode 3: Hubungan Sosial di Mata Anak Perempuan
Berbagai situasi darurat kesehatan yang sudah pernah terjadi menunjukkan bahwa risiko anak perempuan mengalami perkawinan anak dan kehamilan selalu meningkat, khususnya saat akses ke sekolah, pertemanan, dan layanan kesehatan reproduksi terhambat.
“Saya ingin sistem sosial yang menjamin keamanan perempuan dan anak,” kata Trisha, 15, di Bangladesh. “Perkawinan anak bagaikan kutukan di masyarakat kami. Anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak mengalami dampak fisik dan emosional.”
Episode 4: Kesenjangan di Mata Anak Perempuan
Di tengah pandemi COVID-19, anak-anak perempuan bersuara tentang hak mereka untuk hidup bebas dari praktik mutilasi genital dan hak akses yang setara terhadap layanan perlindungan dan kesejahteraan.
“Kalaupun ditemukan obat [COVID-19], apakah negara seperti negara kami akan diberikan akses?” tanya Eta, 15, di Niger.
Episode 5: Masa Depan di Mata Anak Perempuan
Anak perempuan dari seluruh dunia membayangkan masa depan yang inklusif dan adil.
“Saya meminta agar orang tua yang menonton video ini melindungi dan merawat anak-anaknya, pahami bahwa kami punya suara, bahwa pendapat kami penting, karena kamilah masa depan,” kata Makadidia, 15, di Mali.
Pihak-pihak yang Mendukung
Produksi Menghadapi COVID-19 mendapat dukungan besar dari pemerintah Amerika Serikat, Austria, Belanda, Belgia, Inggris, Italia, Islandia, Kanada, Luksemburg, Norwegia, Prancis, AECID (Spanyol), Swedia, serta Uni Eropa dan Zonta International.
Terima kasih khususnya kepada semua remaja yang tampil di seri ini, yang merekam sebagian besar rekaman videonya sendiri untuk mengekspresikan gagasan dan keyakinan dengan caranya sendiri.