Pita LiLA membantu keluarga melindungi anak dari kondisi gizi buruk selama pandemi

Di tengah terhentinya layanan kesehatan di Kupang akibat pembatasan sosial terkait COVID-19, keluarga-keluarga belajar cara mendeteksi kondisi gizi buruk pada anak secara mandiri.

UNICEF Indonesia
Magdalena measures Jevan’s arm
UNICEF/2020/Blandina Rosalina Bait
18 Desember 2020

Magdalena Naimuni gembira saat mengetahui bahwa Jevan, bayinya yang berusia 22 bulan, dinyatakan dapat pulang oleh puskesmas setempat pada bulan Maret. Namun, tetap ada rasa cemas yang menyelinap. Setelah lebih dari satu bulan dirawat inap karena kondisi sangat kurus, status gizi Jevan telah kembali normal.

Agar kondisi sebelumnya tidak terulang, Jevan harus diperiksa secara teratur di posyandu untuk mendeteksi tanda-tanda wasting. Akan tetapi, bersamaan dengan kepulangan Jevan, layanan kesehatan di kota Kupang mulai terhenti akibat pembatasan sosial terkait COVID-19.

“Saya masih ingat diberitahukan tenaga kesehatan agar Jevan dibawa ke posyandu setiap bulan agar status gizinya bisa dipantau,” kata Magdalena. “Tapi, kegiatan posyandu dihentikan sementara, dan jumlah pengunjung puskesmas pun dibatasi. Jadi, saya tidak bisa tahu jika Jevan mengalami masalah.”

Jevan adalah satu dari lebih dari dua juta anak yang menderita kondisi sangat kurus, atau severe wasting, di Indonesia. Inilah bentuk gizi buruk yang paling berbahaya. Anak yang tidak mendapatkan perawatan berisiko mengalami konsekuensi berat, termasuk risiko kematian yang 12 kali lipat lebih tinggi karena sistem kekebalan tubuhnya terlalu lemah. Dalam jangka Panjang, pertumbuhan fisik dan perkembangan mental pun dapat terganggu.

Di Indonesia, sekitar 6,2 juta anak balita—sekitar 10,2 persen—dinyatakan kurus atau mengalami malnutrisi akut. Jumlah ini adalah ketiga tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Di provinsi Nusa Tenggara Timur, tempat Jevan dan keluarganya tinggal, lebih dari 12 persen anak mengalami wasting, sementara 42 persen anak mengalami stunting, atau malnutrisi kronis.

Meski berpotensi fatal, wasting dapat diatasi melalui layanan terpadu di tingkat masyarakat. Akan tetapi, dengan pandemi yang memaksa pemerintah setempat menerapkan langkah pencegahan penularan, orang tua seperti Magdalena khawatir layanan untuk anak-anak mereka akan terhambat untuk waktu yang lama.

“Saya bisa tersenyum karena Jevan sudah sembuh, tapi berapa lama pandemi ini akan berlangsung?” katanya. “Bagaimana kalau Jevan tiba-tiba sakit, apakah ia bisa dibawa ke puskesmas? Setiap kali melihat Jevan bermain dan ceria, pikiran semacam ini menghantui saya. Saya tidak mau ambil risiko terlambat mengetahui kondisi gizi buruk anak saya.”

Membekali orang tua dan pengasuh di rumah

Magdalena measures Jevan’s arm

Pada bulan Mei, di tengah pembatasan sosial yang masih berlaku, Magdalena mengunjungi rumah Mama Mansur, seorang tenaga kesehatan yang didukung oleh Dinas Kesehatan setempat dan UNICEF.

Di rumahnya, Mama Mansur menunjukkan kepada Magdalena cara memantau status gizi Jevan secara mandiri, yaitu dengan melakukan pengukuran lingkar lengan atas (LiLA).

Pengukuran LiLA dilakukan dengan menggunakan pita dengan indikator warna merah, kuning, dan hijau—warna-warna ini menandakan risiko kurang gizi yang dialami anak. Warna merah menandai kondisi anak parah dan membutuhkan perawatan segera. Warna kuning berarti anak mengalami kurus akut, sementara warna hijau menandakan anak sehat. Selain mengajarkan Magdalena mengukur LiLA, Mama Mansur juga menyarankan agar pengukuran dilakukan setiap bulan.

Pengukuran LiLA cukup sederhana, tetapi Magdalena perlu waktu hingga ia bisa melakukannya dengan benar. Bulan berikutnya, ia mengukur LiLA Jevan dan mendapati hasil warna kuning—indikasi terjadi malnutrisi tingkat sedang. Khawatir Jevan kembali mengalami gizi buruk, Magdalena mengukur ulang sebanyak dua kali. Setelah melihat hasil yang konsisten, ia pun meminta bantuan.

Setibanya Mama Mansur di rumah Magdalena, ia membimbing Magdalena mengukur lengan Jevan dengan benar. Kali ini, hasilnya berwarna hijau, yang artinya Jevan sehat. Magdalena pun bisa bernapas lega. Ia tersadar, ia telah menarik pita pengukur terlalu jauh. Sebelum pulang, Mama Mansur juga meninggalkan nasihat seputar pemberian makan agar Magdalena dapat memberikan makanan yang sehat, aman, dan cukup beragam sesuai kebutuhan anak seusia Jevan untuk menjaga status gizi.

Selama pandemi, UNICEF bekerja sama dengan instansi kesehatan di Kupang untuk membagikan pita LiLA dan membantu orang tua serta pengasuh memantau kondisi gizi anak-anak mereka serta meminta bantuan jika membutuhkan.

“Sebelum COVID-19 pun, severe wasting sudah mengancam jutaan anak Indonesia,” ujar Blandina Rosalina Bait, UNICEF Indonesia Nutrition Officer. “Pandemi membuat risiko yang dihadapi anak-anak bergizi rendah semakin tinggi, sehingga kita perlu membekali keluarga dengan alat seperti pita LiLA untuk mendeteksi wasting sejak dini dan mencegah kemunduran status gizi anak-anak.”

Setelah belajar cara memantau dan memberikan makanan kepada anaknya, Magdalena merasa lebih optimis. Terlebih, saat melihat perkembangan Jevan. Belakangan ini, Jevan lebih aktif bergerak di rumah. Tubuhnya yang dahulu kurus kini tampak lebih berisi. Magdalena pun bertekad mengikuti semua nasihat yang diterimanya karena tahu ia dapat menjaga Jevan tetap sehat di rumah.

UNICEF berterima kasih atas dukungan Pemerintah Jepang untuk menjaga anak-anak yang paling rentan tetap sehat dan terlindung selama pandemi COVID-19.