Membangun rasa percaya diri untuk menghadapi perundungan
Murid-murid SMP di Papua Barat mempelajari kecakapan hidup yang penting bagi masa depan mereka
- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
SORONG, Indonesia – Awan kelabu berarak di langit. Refaldo, 13 tahun, duduk di luar rumah sambil memandang sekumpulan sapi menjelajah lahan di kejauhan. Sebelum pandemi COVID-19, hari-hari Refaldo diisi dengan bersekolah dan membantu orang tuanya menanam sayuran di ladang di belakang rumah mereka.
Namun, sejak sekolah ditutup pada bulan Maret, interaksinya dengan teman dan guru jauh berkurang. Kini, ia mengerjakan berbagai tugas sekolah sendirian. Refaldo pun merasa kehilangan dukungan dari guru-gurunya.
“Menurut saya, sekolah perlu segera dibuka kembali,” katanya.
Refaldo tinggal di Sorong Bersama orang tua dan dua orang kakak. Di rumah, ia melakukan pembelajaran jarak jauh melalui grup WhatsApp yang dikelola guru dan melalui program siaran pendidikan di radio yang disajikan oleh UNICEF bekerja sama dengan mitra setempat. Dengan begitu banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan di rumah, Refaldo bersyukur ada pelajaran radio yang membantunya berkonsentrasi pada tugas sekolah.
“Saya senang ada siaran radio,” ujar Refaldo. “Kalau tidak ada siaran, saya tidak akan bisa mengatur waktu belajar.”
Refaldo juga merindukan teman-temannya dan kehilangan masa-masa mereka belajar bersama di ruang kelas. Akan tetapi, meskipun ingin kembali ke sekolah, Refaldo juga mengakui bahwa ia dan teman-temannya sering kali kesulitan menghadapi perundungan, yang menjadi penyebab dari banyak masalah yang mereka hadapi.
Segalanya berawal ketika seorang murid dari kelas lain mendatangi teman Refaldo. Sang teman diminta menggunakan uang sakunya untuk membelikan murid itu makanan atau barang-barang lain. Teman Refaldo menolak dan hendak melawan. Refaldo pun terperangkap di tengah situasi ini, tak yakin bagaimana harus menyelesaikan masalah tanpa menggunakan kekerasan.
Untuk mendukung Refaldo dan remaja lain mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sehari-hari, UNICEF mengadakan program pendidikan kecakapan hidup di 10 SD dan 12 SMP di Sorong. Program dimulai pada bulan Januari dan berlanjut selama pandemi melalui siaran radio, menyiarkan pesan dan kiat menghentikan perundungan untuk murid.
Bagi Refaldo, analisis dan pemecahan masalah adalah topik yang paling menarik. Kedua topik ini mengajarkannya mengambil keputusan dengan lebih baik saat menghadapi perundungan dan tekanan dari teman sebaya. Setelah ikut serta dalam diskusi dan kegiatan curah ide, ia pun belajar lebih memahami risiko yang ia hadapi.
“Dulu, saya ragu-ragu jika ada teman yang mendesak untuk menyalin pekerjaan rumah saya. Sekarang, saya langsung menolak dan bertanya mengapa mereka tidak mengerjakannya sendiri,” kata Refaldo. Meski awalnya ada teman-teman yang tersinggung, pada akhirnya mereka kembali bermain dengannya.
Menurut Refaldo, perubahan terbesar yang ia rasakan pada dirinya setelah mengikuti program tersebut adalah rasa percaya dirinya yang bertambah.
“Rasanya, sejak lebih mengenal diri sendiri, kekuatan diri, dan teknik memecahkan masalah, saya menjadi lebih percaya diri,” jelas Refaldo. “Saya rasa hal ini akan membantu saat kelak kami kembali bersekolah.”
Kembali ke sekolah dan meneruskan pendidikan adalah langkah penting selanjutnya bagi Refaldo. Ia senang dapat membantu keluarganya berladang pada sore hari, tetapi tidak yakin ingin mengikuti jejak langkah ayahnya. Ia justru bercita-cita menjadi seorang guru.
“Guru-guru saya sangat baik dan selalu membantu,” katanya. “Sebab itu, saya ingin menjadi seorang guru.”
Refaldo adalah satu dari 4,480 murid SMP dalam program “Supporting Girls to Thrive in Indonesia” yang diluncurkan oleh UNICEF pada November 2019 dengan dukungan dari David Beckham Fund. Dengan sasaran utama murid SD dan SMP di Sorong, Papua Barat, program ini hendak meningkatkan angka anak yang tetap bersekolah, memperbaiki capaian belajar, dan melindungi anak perempuan dan lelaki dari tindak kekerasan di sekolah. Program ini juga mendukung program lain yang berbasis sekolah, yang menyatukan perlindungan, pendidikan, pemberdayaan, serta air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) untuk menghasilkan perubahan pada norma sosial dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik.