Chatbot menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang tua seputar gizi anak
Sebuah program percontohan dari UNICEF dirancang untuk menyediakan informasi gizi penting untuk orang tua dan tenaga kesehatan.

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
KUPANG, Indonesia – Di mata Micke Mbotu, kedua anaknya tidak pernah kekurangan makan. Sebab itu, ketika berkunjung ke puskesmas, ia sangat terkejut karena anak perempuannya yang berusia 17 bulan, Felicity, dinyatakan mengalami gizi buruk dan butuh perawatan segera. Gizi buruk adalah bentuk kekurangan gizi yang paling berbahaya bagi anak dan ditandai oleh tubuh penderitanya yang sangat kurus dibandingkan tinggi badannya.
“Saya tidak bisa terima,” kata Micke. “Saya selalu berikan anak-anak makanan yang terbaik. Bahkan kadang saya campurkan bahan makanan lain yang bergizi ke bubur mereka, jadi mangkuk mereka selalu diisi dengan makanan beragam dan bergizi.”
Saat kunjungan pertama kali ke puskesmas, berat Felicity hanya mencapai 6,5 kg, atau di bawah berat normal 7,2 kg untuk anak seusianya. Yeni Haning, ahli gizi yang bertugas di puskesmas, melihat bahwa kondisi Felicity yang menderita gizi buruk menyebabkan suasana hati anak itu mudah berubah dari anak yang ceria dan suka tersenyum, menjadi anak yang rewel dan mudah kesal. Agar berat badan Felicity bisa bertambah, Yeni membekali Micke dengan sepaket makanan terapi gizi siap (Ready-to-Use Therapeutic Food/RUTF). RUTF yang bertekstur padat seperti pasta terbuat dari kacang-kacangan. RUTF digunakan untuk memulihkan status gizi anak gizi buruk.

Di rumah, Micke dan suami pada awalnya tidak memiliki banyak pengetahuan tentang cara merawat anak dengan kondisi gizi buruk. Pandemi dan pembatasan sosial membuat mereka tidak bisa membawa Felicity kembali menemui Yeni di puskesmas.
Keluarga Micke tidak sendiri di dalam situasi ini. Untuk mengatasinya, para tenaga kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pun memanfaatkan chatbot untuk memberikan dukungan informasi gizi terkait gizi kurang dan gizi buruk yang penting kepada mereka. Chatbot ini adalah bagian dari program percontohan yang diluncurkan oleh UNICEF bersama dengan pemerintah daerah Kota Kupang, Kabupaten Kupang sendiri merupakan satu dari 22 kabupaten/kota di Provinsi NTT dengan prevalensi malnutrisi yang tinggi.
Layanan chatbot yang dapat diakses melalui WhatsAapp ini berfungsi sebagai platform konseling bagi orang tua dan tenaga kesehatan untuk mendiskusikan status kesehatan dan gizi anak. Platform ini juga menyediakan beraneka sumber informasi untuk memastikan anak-anak selalu mendapatkan gizi sebaik mungkin.

“Kasus-kasus gizi buruk biasanya disebabkan oleh kekurangan informasi, karena orang tua dan pengasuh tidak sadar akan gejala, sebab, dan konsekuensi dari kondisi ini,” kata Blandina Rosalina Bait, UNICEF Indonesia Nutrition Specialist. “Kalaupun orang tua merasa anaknya terlalu kurus, mereka biasanya enggan pergi ke puskesmas karena takut dianggap kurang memperhatikan kesehatan dan gizi anak.”
Dalam hal keluarga memutuskan menemui tenaga kesehatan, umumnya anak hanya didampingi oleh ibu. Hal ini bisa membuat intervensi kesehatan tidak diterima dengan baik oleh anggota keluarga yang lain.
“Ada kalanya, setelah ibu kembali ke rumah dan hendak memberikan RUTF kepada anak, suami atau mertua perempuan menolak karena tidak tahu kandungan bahan dan manfaat RUTF,” jelas Yeni. “Dengan chatbot, yang mendapatkan informasi dan bisa menyimak video tentang RUTF bukan hanya ibu, tetapi juga anggota keluarga lain. Hal ini membantu mereka sebagai keluarga untuk memahami dan mendukung perawatan anak gizi buruk dengan RUTF.”

Suami Micke pun awalnya mengira RUTF saja tidak akan cukup untuk Felicity dan ingin memberikan bayinya susu formula. Namun, setelah membaca informasi yang disediakan melalui chatbot, Micke berhasil meyakinkan sang suami untuk menerima diagnosis dan langkah perawatan bagi Felicity.
“Saya senang dengan adanya chatbot karena pengetahuan saya jadi bertambah,” kata Micke.
Setelah lima pekan mendapatkan asupan RUTF, Felicity kini mencapai berat badan yang ideal. Micke pun bangga melihat putrinya tumbuh dengan baik, sekaligus menyadari perubahan pada kondisi fisik dan perilaku Felicity.

“Saya senang dengan adanya chatbot karena pengetahuan saya jadi bertambah."
“Secara fisik, Felicity sekarang kelihatan lebih berisi dan bisa bermain sendiri,” Micke menceritakan pengamatannya. “Ia dulu sering pilek, demam, ataupun batuk, tetapi belakangan ini ia selalu sehat.”
Diagnosis Felicity memang sempat membuat Micke berkecil hati, namun ia kini lebih optimis setelah menyaksikan tumbuh kembang sang anak. Terlebih, Felicity akan berulang tahun yang kedua.
“Saya tidak mau memaksa Felicity menjadi sosok tertentu. Saya hanya ingin ia tumbuh penuh berkat, agar bisa menjadi orang yang sehat, pintar, dan mampu meraih cita-citanya,” tutup Micke.