Asa di tengah keprihatinan COVID-19

Menerapkan langkah-langkah pencegahan untuk memastikan pelayanan selama pandemi COVID-19 diberikan secara aman.

Firmansyah Mustafa dan Iswahyudi Iswahyudi
Malaria cadre
UNICEF/2020
24 April 2020

Ibu Mujiasih sedang melayani warga saat kami menghubungi beliau untuk wawancara pada sore hari iru.  Ibu Mujiasih, atau yang lebih sering dipanggil Asih, sudah 6 bulan belakangan ini menjadi Kader Malaria di kampung Sanggaria di Keerom, Papua.

Di Keerom, dan di lima kabupaten lainnya di Papua yang memiliki angka kasus malaria tertinggi, Kementerian Kesehatan dengan dukungan dari UNICEF menjalankan program pemeriksaan dan pengobatan malaria berbasis komunitas untuk mendekatkan akses pelayanan di area yang sulit dijangkau. Asih mengikuti pelatihan pertama untuk kader Malaria pada November 2019.

Sejak 1997, perempuan berusia 48 ini sudah aktif sebagai kader Posyandu, dan sejak dua tahun belakang ia juga kader untuk BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional). “Karena ini tujuannya untuk meringankan, mengurangi penyakit malaria di masyarakat, jadi saya merasa terpanggil untuk ikut jadi kader malaria,” ujar Asih saat ditanya mengapa ia saat ini menjadi kader.

Salah satu peserta pelatihan lain ialah Ibu Olivia. “Seperti Ibu Mujiasih, kami sama-sama mengikuti pelatihan kader pada bulan November kemarin. Jadi sudah hampir 6 bulanlah,” jelas Ibu Olivia. Dalam pelatihan ini, peserta belajar tentang malaria – cara penularan dan pencegahannya, cara mengetahui seseorang sedang sakit, melakukan tes RDT (Rapid Diagnostic Test), memberikan obat, dan melakukan pendataan warga dan pelaporan. Berbeda dengan kader kesehatan lain, kader malaria memiliki kemampuan dan wewenang untuk memberikan pelayanan pemeriksaan dan pengobatan, seperti tertuang dalam Keputusan Kementerian Kesehatan No 41/2018. Setiap hari para kader malaria harus melaksanakan kunjungan rumah untuk mencari orang yang sakit dan melakukan tes malaria. Dalam program malaria ini dinamakan kegiatan Deteksi Kasus Aktif.

 “Kami biasanya jalan dari pagi, mulai jam 8 sampai jam 11. Kemudian kembali ke rumah. Lalu sore lagi pergi, dari jam 3 sampai jam 5… Tapi kami 24 jam pelayanan, kebetulan suami juga mendukung. Biar jam berapapun kami dipanggil, kami layani” jelas Ibu Merry, kader lain yang juga sempat kami ajak berbincang. Selain melakukan tes malaria dan pengobatan, kader juda melakukan sosialisasi, pengawasan pasien dan memastikan mereka meminum obat serta memeriksa kelambu.

“Saya pernah jam 2 malam ada datang seorang bapak ke rumah saya, sakitnya sudah parah. Saya tanya kenapa tidak telepon saja, tapi tidak ada pulsa. Saya menitikkan air mata. Di situ saya merasa memang kita harus menolong sesama orang,” Merry menceritakan pengalamannya.

Merebaknya Covid-19 meredam pergerakan masyarakat. Di Provinsi Papua, pemerintah menerapkan pembatasan sosial, yang juga membatasi pergerakan masyarakat. Hal ini secara langsung mempengaruhi pemberian pelayanan kesehatan, termasuk malaria. Di area di mana beban penyakit malaria sangat tinggi seperti Keerom, menghentikan pelayanan malaria akan mengakibatkan meningkatnya angka kematian karena malaria.

"Meskipun capek, karena ini menyangkut nyawa orang, saya tetap melayani pasien."

Olivia

Kader-kader malaria dengan cepat menyesuaikan pelayanan mereka dengan situasi yang ada. Kunjungan rumah dihentikan, namun mereka tetap memberikan pelayanan tes dan pengobatan ke warga di kampung. Mereka menerapkan langkah-langkah pencegahan untuk memastikan pelayanan diberikan secara aman. Warga yang memiliki gejala malaria diperiksa di rumah kader.

Saat menerima warga, kader dan warga harus menggunakan masker. Kader juga memastikan semua rang mencuci tangan sebelum masuk ke rumah dan saat akan meninggalkan rumah mereka. Kader juga menjaga jarak aman, memakai sarung tangan sekali pakai, dan selalu cuci tangan sebelum dan sesudah pemeriksaan. Asih bahkan menyediakan masker kain gratis di rumahnya. “Kalau pasien datang tidak pakai masker, kan tidak mungkin kita suruh pulang, saya sediakan masker di sini. Saya jahit sendiri,” ujar Ibu Asih.

Tidak hanya sebagai kader malaria, Ibu Merry dan Ibu Olivia turut bergabung dalam Tim Covid Kampung sebagai relawan. Mereka membantu memastikan adanya tempat cuci dan sabun di rumah-rumah warga.

 “Saya sebagai kader sibuk sekali, tapi karena ini adalah panggilan hati, baru kami diberikan tanggung jawab sebagai kader, meskipun capek, karena ini menyangkut nyawa orang, saya tetap melayani pasien,” ujar Olivia tentang tantangan menjadi kader.

“Semoga sa pu warga ini tidak ada yang sakit malaria. Pokoknya dengan adanya kader malaria, sa pu warga sehat selalu,” kata Ibu Olivia tentang harapannya untuk masa depan di Papua.

Selain memberikan dukungan teknis terhadap program malaria, UNICEF juga mendukung pemerintah daerah di Keerom dengan kampanye GEMPUR malaria – kampanye akselerasi eliminasi malaria yang berbasi komunitas dengan kolaborasi lintas sektor yang baik dan regulasi yang lebih kuat.