Tidak Lagi Merasa Sendirian Berkat Pendukung Sebaya

Dukungan sebaya sangat penting bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang masih sering menghadapi stigma dan rasa malu.

Adinda Silitonga dan Rustini Floranita
Siti Maryam Rumkakir
UNICEF/2019/Fauzan
28 November 2019

“Kalau saja dulu itu saya diberi informasi sedikit saja tentang HIV, dan tes HIV sudah dianjurkan untuk ibu hamil, mungkin Haikal masih hidup sekarang,” ujar Siti dengan mata berkaca-kaca.

Haikal ialah anak pertama Siti, ia meninggal saat berusia 8 bulan. “Haikal tidak pernah dites, karena tidak terpikir ke sana, tapi perasaan saya dia meninggalnya karena itu,” tambah Siti.

Siti Maryam Rumkakir merupakan salah satu aktivis HIV di Kota Sorong, Papua Barat. Saat ini ia menjabat sebagai Koordinator Provinsi Papua Barat di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). IPPI merupakan organisasi yang didirikan oleh dan bagi perempuan positif HIV di Indonesia. Sejak 2018, IPPI membantu Dinas Kesehatan Kota Sorong dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak). Dinas Kesehatan Kota Sorong juga bekerjasama dengan UNICEF sejak 2008, dan sejak 2018 mendapat dukungan untuk program PPIA, khusunya untuk Early Infant Diagnosis (EID).

Perempuan berusia 32 tahun ini sangat bersemangat dan aktif dalam mendukung sesama orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Sorong, khususnya ibu hamil. Siti sangat mengerti perasaan dan situasi seorang ibu hamil yang positif HIV, pengalamannya mengajarkannya banyak hal. Dukungan seperti ini sangat penting bagi ODHA, di mana mereka masih menghadapi banyak stigma dan rasa malu.

“Banyak ibu hamil yang ketahuan HIV tidak mau kembali lagi untuk perawatan, tapi dengan adanya dukungan sebaya dari IPPI, mereka tidak lagi merasa sendirian,” jelas Sulce Siwabessy, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan Kota Sorong. “Kami merasa kerjasama dengan IPPI membantu meningkatkan jumlah ibu hamil yang minum ARV (antiretroviral),” tambahnya.

Seperti banyak ODHA lainnya, Siti awalnya sulit menerima satusnya. Siti mengetahui statusnya pertama kali saat menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Sele Be Solu di Sorong. Ia sedang hamil anak ketiga, dan sudah empat hari tidak bisa makan dan selalu muntah. Pada saat kunjungan, bidan menyarankan ia menjalani tes HIV. Beberapa hari kemudian, rumah sakit menghubunginya untuk membuka hasil tesnya di rumah sakit, dan ternyata hasilnya positif. “Saya ngomong ke mereka, tidak mungkin, pasti itu salah. Saya tidak pernah merasa sakit kok, dan saya merasa tidak pernah ada gejala-gejala HIV. Saya bilang, pasti ada kesalahan, itu pasti hasil orang lain. Saya minta untuk dites ulang,” ujar Ibu tiga anak itu.

Siti in Puskesmas
UNICEF/2019/Fauzan Siti di Puskesmas, berbagi informasi tentang HIV ke ibu hamil
Siti with doctor
UNICEF/2019/Fauzan Konsultasi dengan dokter di Klinik Mawar di Rumah Sakit Sele Be Solu

Rumah sakit setuju untuk melakukan tes ulang, tapi mereka meminta Siti untuk membawa suami dan anak perempuannya untuk ikut dites juga. Siti pun membawa suami dan anaknya, dan mereka dites bersama. Hasil tes suami dan anaknya negatif, tapi hasil tes Siti, tetap positif. Siti pun mulai meminum ARV, setelah mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan masa percobaan dua minggu.

Namun, bukan berarti semuanya berjalan lancar untuk Siti. ARV menimbulkan luka-luka di wajah dan punggungnya, Siti pun tak sanggup melihat dirinya di cermin. Dia juga selalu merasa marah. Siti mencurigai ia tertular HIV dari pasangan pertamanya. Sewaktu ia 19 tahun, Siti hamil untuk pertama kalinya, dan tidak menikah, suatu hal yang masih sangat tabu di Indonesia. Pasangannya ternyata sudah menikah tanpa pernah memberi tahu Siti. Lelaki itu pun kemudian jatuh sakit dan meninggal seminggu sebelum anak mereka, Haikal, lahir.

Satu waktu, rasa marah Siti memuncak dan dia memecahkan cermin di rumahnya. Suami Siti merasa kondisi rumah mereka tidak aman dan membawa anak perempuan mereka mengungsi ke rumah orang tuanya.Siti pun semakin depresi, dan mencoba bunuh diri. Siti meminum cairan anti serangga, dan terbangun di rumah sakit. Saat ia terbaring di rumah sakit, ia berpikir bahwa ia harus berubah. “Saya berdoa sama Tuhan, saya ngomong, kalau memang ada alasan Kau selamatkan saya, biarlah itu untuk melakukan sesuatu yang baik, untuk menolong orang lain. Bukan sekadar untuk terus diuji, saya tidak sekuat itu,” cerita Siti dengan sedikit bergetar.

Siti consulting
UNICEF/2019/Fauzan ARV gratis di Indonesia

Tak lama setelah kejadian itu, Siti pun melahirkan anak ketiganya. Anak laki-laki Siti itu dites dengan EID saat berusia enam minggu. Diagnosis dini untuk HIV sangatlah penting untuk inisiasi perawatan, dukungan, dan mencegah penularan HIV lebih lanjut. Mengingat tingginya risiko kematian sebelum usia dua tahun bagi bayi terinfeksi HIV, dan peningkatan ketersedian perawatan ARV bagi anak di area dengan sumber daya terbatas, UNICEF mendukung Provinsi Papua Barat dalam membangun kemampuan tenaga kesehatan untuk melakukan tes diagnosis dini HIV pada bayi, sejak 2018.

Setalah Siti sehat kembali, ia mengunjungi Rumah Sakit Sele Be Solu dan berkonsultasi tentang apa yang bisa ia lakukan untuk membantu sesama ODHA dan belajar lebih jauh tentang HIV. Itu semua terjadi di 2013, semenjak itu Siti sudah mendukung sebanyak lebih dari 50 ODHA, kebanyakan perempuan, sebagai pendukung sebaya, dan sebagai teman. Hal ini tak mengherankan. Saat berbicara dengan Siti, ia membagi kisahnya secara sangat terbuka dan tanpa basa-basi, ia tidak merasa perlu menyembunyikan sesuatu ataupun merasa malu akan masa lalunya. Tapi tetap dengan kehangatan yang pekat.

“Di awal-awal, tantangan terbesarnya itu dengan pelayanan kesehatan. Mereka dulu belum percaya dengan kita. Tapi pelan-pelan, terutama semenjak kita terlibat dalam program PPIA, mereka sudah percaya sekarang,” jelas Siti. “Kalau sekarang, tantangannya lebih ke masalah dana. Kebanyakan kita itu volunteer, dan untuk melakukan kunjungan ke ODHA lainnya kan perlu biaya. Dulu saya untuk menutupi biaya, kadang jualan kue pia juga sambil kunjungan,” tambahnya.

Semua tantangan tersebut tidak menghentikan Siti untuk terus bekerja. Dia bahkan tampil di beberapa video, berbicara tentang ODHA di Papua Barat. Siti tidak menyembunyikan statusnya dari siapapun, dan tak juga merasa malu.

“Saya hanya berharap agar tidak ada lagi infeksi baru, baik dari ibu ke bayi, ataupun dari pasangan, atau dari manapun. Dan agar orang-orang lebih paham soal HIV, sehingga mereka tidak mendiskriminasikan ODHA,” jelas Siti saat kami mengakhiri percakapan.

Siti at her house
UNICEF/2019/Fauzan Menulis laporan untuk PPIA di rumahnya di Sorong

*Nama disamarkan untuk menghargai hak anak dan melindungi privasi mereka