Refleksi dari KHA Pasal 32

Semua anak mempunyai hak untuk dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan bagi kesehatan atau pertumbuhan mereka. Anak yang bekerja mempunyai hak untuk aman dan dibayar sepantasnya.

Laksmi Pamuntjak
Selling vegetables
UNICEFIndonesia/2015/CharlieHartonoLie
07 November 2019

Dari waktu ke waktu, kita mendengar kisah-kisah itu. Anak-anak yang bekerja di ladang tembakau atau di perkebunan kelapa sawit. Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, di dalam dan luar negeri. Kisah-kisah yang tak selalu melekat di benak kita sebab kita telah terbiasa berpikir tentang anak sebagai insan cilik yang membawa kebahagiaan ke dalam hidup kita dan layak atas cinta dan perlindungan kita. Dalam benak kita, tempat anak adalah sekolah dan rumah yang aman, bukan lingkungan kerja yang kejam atau berbahaya. Kita tak terbiasa mengaitkan ‘anak’ dan ‘pekerja’; dua kata itu tak seharusnya tampil bersebelahan. Namun begitulah nyatanya—sebab pekerja anak adalah sebuah realita.

Yang tak sering kita dengar adalah apa yang sebenarnya terjadi di tempat-tempat kerja ini. Anak-anak delapan tahun, yang tak secara langsung dipekerjakan oleh perusahaan melainkan dibawa masuk oleh orang tua mereka untuk membantu mereka memenuhi target, mendapat bonus, atau menghindar dari hukuman. Pekerja anak di perusahaan tembakau, yang sering mual dan muntah-muntah sebab mereka terlalu lama bersinggungan dengan nikotin, pestisida dan hawa panas yang intens. Pekerja anak di perkebunan kelapa sawit, yang kepayahan memikul beban berat berulang kali di lahan yang sulit. Anak-anak antara duabelas dan limabelas tahun, kebanyakan perempuan, yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga sebab mereka umumnya bisa digaji lebih rendah; anak-anak yang bekerja 18 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa hari libur. Anak-anak yang sering mengalami kekerasan fisik, seksual dan mental di tangan majikan mereka.   

Kita juga tak banyak mendengar tentang apa yang terjadi di luar upaya pengetatan Undang-Undang Ketenagakerjaan, atau upaya menuntut tanggung jawab perusahaan atas praktek-praktek tenaga kerja yang tak sesuai prosedur atau melanggar hukum. Namun tetap tak dapat dihindari, pertanyaan-pertanyaan sulit itu: bagaimana caranya meyakinkan anak perempuan di bawah usia delapan belas untuk tak melamar kerja sebagai PRT apabila mereka sudah keburu yakin itu adalah batu loncatan untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri yang bergaji tinggi? Bagaimana menawarkan opsi-opsi yang lebih baik pada keluarga-keluarga miskin untuk tidak mengandalkan diri pada anak-anak mereka untuk membantu dalam pekerjaan? Bagaimana memberantas kemiskinan dan biaya pendidikan yang tinggi yang mendamparkan anak di sektor informal yang tak menuntut spesialisasi? Bagaimana menghentikan lingkaran setan yang membuat anak seakan 'berhenti di tempat'—tetap tak punya ketrampilan, tetap digaji rendah—hingga mereka tak sanggup meningkatkan mutu kehidupan anak-anak mereka di hari depan?

Paling tidak ada satu hal yang kita ketahui: kita butuh membuktikan ketakbenaran sejumlah mitos. Dan untuk itu kita butuh pendidikan. Dalam hal itu, tak ada kata ‘terlalu banyak’ atau ‘terlambat.’ 


Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.


 

Convention on the rights of the child
UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani

Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).

Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.

Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.

Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.

Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.