Refleksi dari KHA Pasal 23

Semua anak dengan disabilitas mempunyai hak terhadap pendidikan khusus, serta pelatihan dan perawatan yang memungkinkan mereka hidup dengan selayak mungkin

Laksmi Pamuntjak
Setelah mengikuti pelatihan tentang pendidikan inklusif, guru Aulia, Pak Anzar (tengah), membuat alat agar Aulia bisa ikut bermain kasti dengan teman-teman sekelas.
UNICEF Indonesia/2019/Fauzan Ijazah
07 November 2019

Bayangkan hidup dalam dunia yang tidak dibuat untuk kita.

Kadang kami diberitahu kami tak berbeda dari orang lain—bahwa kami mampu, indah, dicintai. Kadang kami diminta untuk berani, untuk berteguh pada iman kami; kadang kami dijanjikan kebebasan dari rasa sakit. Tapi kami lebih sering diberitahu bahwa kami begini—atau begitu—dan kami merasakannya: fakta bahwa kami berbeda. Kami merasakannya di tulang sendi kami, di sebuah ceruk dalam hati kami, di bagian-bagian kami yang tahu. 

Kadang mereka jatuh iba pada kami. Kami diberitahu bahwa kami memiliki ‘kebutuhan khusus,’ bahwa kami anak ‘luar biasa,’ bahwa kami ‘tunagrahita,’ seolah dengan demikian disabilitas kami serta-merta tiada. Kadang mereka bilang kami punya kelainan, atau kemampuan lain, seolah fakta bahwa tak ada satupun manusia yang sama di dunia ini bukanlah esensi kemanusiaan.

Kadang kami disekolahkan di sebuah tempat di mana kami diperlakukan dengan baik oleh guru-guru kami, dan diajari banyak hal. Konon ada seorang guru yang rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan murid-murid seperti kami di sebuah pulau jauh, di tengah gempa bumi. Namun seringkali kami tak melihat dunia sama sekali, dan disembunyikan seperti perabotan yang rusak, lukisan yang tercemar, kain yang ternodai. 

Kadang kami diberitahu tak ada gunanya menyekolahkan kami karena kami akan dirisak oleh murid-murid lain atau ditelantarkan oleh para guru, dan tak akan ada perkerjaan yang menanti seusai sekolah nanti. Kadang orang tua kami dinasehati untuk berdoa dan bertobat atas dosa-dosa mereka, karena lihatlah kami, lihatlah, tentunya kami telah cukup menjadi momok bagi dunia.

Tapi, sesekali kami diberi bola, diberi sebuah lapangan, dan tiba-tiba saja kami tak lagi merasa sendiri. Kami dikelilingi wajah-wajah yang akrab, tetangga, teman-teman kakak adik kami, mereka yang suka main sepakbola dan bercengkerama. Kadang kami duduk di pantai dan menggambar pada pasir, dan sangat luar biasa melihat banyaknya orang yang bergabung dengan kami. Serasa ini bukan lagi mengenai “Aku” tapi mengenai “Kita,” dan kami senang di sana—menjadi bagian dari dunia yang tak berbatas.   

Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.

 

Convention on the rights of the child
UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani

Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).

Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.

Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.

Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.

Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.