Memperkenalkan Manfaat Bermain Kepada Orang Tua
Serangkaian lokakarya di Kupang memberdayakan orang tua agar mampu menghadirkan pengalaman bermain yang bermakna kepada anak-anak di rumah

- Tersedia dalam:
- English
- Bahasa Indonesia
NUSA TENGGARA TIMUR, Indonesia – Sekelompok orang tua berdiri mengelilingi Fandro, 6, yang sedang berusaha menyelesaikan teka-teki geometri. Mereka tengah berada di ruang kelas kecil yang dindingnya terbuat dari bambu di desa Bikoen—sebuah desa di area pegunungan.
“Pilih nomor 1, lalu ikuti garis agar menghasilkan bentuk yang tepat,” kata Alfaksat Haumeni, 45, sambil membimbing Fandro menempatkan lingkaran di tempat yang benar.
Alfakasat adalah salah satu dari 13 orang tua yang setiap bulan mengikuti pertemuan guru-orang tua di PAUD setempat. Pertemuan ini bertujuan memberikan dukungan kepada para pengasuh utama anak di masyarakat serta memberdayakan mereka agar mampu berperan aktif dalam perkembangan anak sepanjang usia dini. Hari itu, topik pertemuan adalah “Belajar Melalui Bermain”. Topik itu mengajarkan orang tua bahwa mengajak dan melibatkan anak-anak usia muda dalam kegiatan bermain merupakan salah satu cara terpenting bagi anak mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang esensial.


Pertemuan dimulai dengan presentasi dari pendamping tingkat kecamatan. Ia memperkenalkan kiat-kiat penting untuk mengadakan permainan edukatif untuk anak. Setelah itu, orang tua dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk mencoba kegiatan yang bisa mereka lakukan di rumah. Selain teka-teki geometri menggunakan kardus bekas, para pendamping juga menggunakan wadah telur dan stik es krim daur ulang sebagai media mengajarkan warna kepada anak.
Pesan mereka jelas: benda apa pun bisa dimanfaatkan untuk menciptakan kesempatan belajar yang menarik dan efektif.
Menurut Yeni Boymau, salah seorang guru PAUD di Bikoen, belajar sambil bermain di rumah sangat menunjang pembelajaran yang diberikan oleh guru di lingkungan PAUD.
“Di rumah, orang tua bisa menguatkan pembelajaran di sekolah,” katanya. “Mereka juga bisa menyaksikan sendiri perkembangan anaknya.”


Saat orang tua lain menyemangati anak-anak mereka selama kegiatan, Alfakasat mencatat observasinya dengan cermat. Setelah sesi latihan selesai, Alfakasat dan para orang tua lain diminta berbagi pendapat mereka dengan semua peserta.
“Kami belajar cara bermain dengan anak menggunakan puzzle,” kata Alfakasat sambil berdiri di depan ruang kelas. “Melalui permainan itu, anak belajar tentang bentuk dan menghitung sampai tiga.”
“Sebagai orang tua, kami bangga sekali melihat anak-anak bisa menyelesaikan tugas mereka,” tutupnya.

Mengubah Sikap Masyarakat Terhadap Pengasuhan Anak
Studi tahun 2017 yang dilakukan UNICEF terhadap PAUD di Kupang menemukan bahwa 23 persen ibu dan 66 persen ayah tidak membacakan cerita untuk anak-anak mereka dalam tiga hari terakhir saat studi dilakukan. Permasalahan ini ditambah dengan temuan lain di dalam studi bahwa 84 persen PAUD tidak pernah mengadakan lokakarya mengenai pengasuhan anak.
“Kami melihat ada kebutuhan di banyak kabupaten untuk menguatkan kapasitas baik guru maupun orang tua agar mereka lebih mengetahui praktik pengasuhan anak yang positif,” ujar Dwi Purwestri, Early Childhood Development Officer dari UNICEF yang berbasis di Kupang.
Didukung oleh Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru, UNICEF tengah bekerja mengatasi celah ini dengan menyediakan panduan bagi pengelola PAUD agar dapat melakukan kegiatan edukatif untuk orang tua.

Pertemuan orang tua-guru telah diterima dengan baik oleh masyarakat, namun mendorong orang tua untuk hadir dapat menjadi tantangan tersendiri. Pada musim panen, jumlah orang tua yang mengikuti pertemuan akan berkurang karena sebagian dari mereka harus bekerja di ladang. Selain itu, kehadiran orang tua biasanya didominasi para ibu, sementara ayah memilih bekerja atau menunggu di rumah.
Bagi Alfakasat, yang teratur menghadiri pertemuan sejak Juni, pengetahuan yang ia dapatkan dari setiap sesi sama pentingnya dengan pekerjaannya sebagai petani. “Kalau tidak datang, saya tertinggal informasi yang seharusnya bisa diterapkan di rumah,” katanya.
Sejak rutin hadir, Alfakasat merasa lebih memahami dan mengapresiasi perkembangan putranya. “Tadinya, sulit untuk membiarkan anak saya bermain-main karena ia terkadang keras kepala dan nakal,” katanya. “Tapi, saya belajar bahwa kita [sebagai orang tua] perlu mendukung pribadi anak dan memberikan mereka kebebasan bermain.”
